Hampir tiap hari Jokowi tampil proaktif di layar televisi mengendalikan keadaan. Menyampaikan kebijakan demi kebijakan, namun hal itu nyaris tidak memberi arti apa-apa di lapangan, karena terganggu polusi narasi pembantunya yang sering simpang siur lalu saling menggergaji satu sama lain.
Meskipun dalam laman resminya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memakai istilah physical distancing yang diartikan menjaga jarak fisik atau jarak badan antar manusia, sehingga yang dihindari bukan kerumunan saja. WHO menganjurkan penggantian penggunaan frasa social distancing (jarak social) menjadi physical distancing (jarak badan).
WHO berdalih penggunaan frasa ini untuk mengklarifikasi perintah untuk berdiam diri di rumah demi mencegah virus corona. Bukan berarti kita memutus kontak dengan teman atau keluarga secara sosial. Dengan penggunaan frasa physical distancing, diharapkan imbauan yang dikeluarkan WHO lebih jelas. Yakni menjaga jarak fisik atau jarak badan untuk memastikan penyakit tidak menyebar.
Demikian masifnya pergerakan sang corona, saat ini di seluruh dunia telah terjadi “kekerasan” kepada peradaban. Termasuk di Indonesia. Sejumlah tata karma pergaulan dan etika berkomunikasi sesama umat manusia, yang pernah dilegalisasi oleh peradaban dengan dukungan kebudayaan dan keagamaan, – mau tidak mau -, atas nama “kekerasan” wabah virus corona, peradaban tertunduk terpaksa mengalami semacam restrukturisasi total.
Kewelas asihan dari kebudayaan dan kebajikan dari nilai agama, yang selama ini yang mengharuskan manusia di dunia hendaknya satu sama lain, saling memperdulikan, saling berkomunikasi, saling berbelas kasih dan saling berkasih – kasihan serta total compassion, pada akhirnya ambyar! Apakah dapat dikatakan “kekerasan” wabah virus corona telah meruntuhkan peradaban?!
Masyarakat diharuskan tetap di rumah, menerapkan pola hidup sehat, menjaga jarak badan dengan tidak melakukan kontak fisik dengan sesama. Semua upaya ini harus dilakukan untuk kemenangan dalam perang melawan Covid-19 yang kini terus meneror dunia. Saat ini, jangankan di jalanan, di dalam rumah kita pribadi pun; bersama keluarga sendiripun, masyarakat dianjurkan saling berjauhan, memelihara jarak badan (psychal distancing).
Kalau ditulis akan terbaca begini: penjarakan badan. Agak aneh tapi nyata: ketika awalan (pe) digabung dengan kata jarak ditambahkan akhiran (an) menjadi penjarakan, sebuah konotasi yang mengerikan lantaran benarnya: seketika manusia manusia menjadi narapidana tanpa berbuat kejahatan dan tanpa melalui pengadilan apapun namanya. Manusia secara sukarela memenjarakan dirinya dan memenjarakan peradaban! Maka disinilah peradaban lama tidak berkutik. Terkapar disapu “relawan” maut hitam itu yang bernama corona.
Wartawan senior Kompas, Trias Kuncahyono dalam salah satu artikelnya menulis: Apakah pandemi Covid-19 ini akan mampu mengubah sifat orang yang senang menari di atas penderitaan orang lain dan memunculkan sikap beyond terhadap kepentingan diri dan seluruh kelompoknya? Apakah pandemi Covid-19, akan mampu mengubah orang di negeri ini, yang dalam bahasanya Syafii Maarif-larut dalam pragmatisme politik yang tunamoral dan tunavisi-menjadi bermoral dan bervisi?
Tapi saya malah memilih untuk menanyakan ini, sesudah pandemik Cofid 19 ini benar-benar berakhir: Masihkah masyarakat bangsa ini kelak mampu tersenyum lebih indah lagi, sekalipun senyum itu hanya sekedar menunda tangis?
*) Penulis: Zainal Bintang, wartawan senior, dan pemerhati masalah sosial budaya.