Ditambah lagi tabiat Jokowi yang sering menggunakan tangan dan meminjam mulut orang lain, sering menjadikannya ahli membuat tameng dalam melindungi citra dan kepentingan politik tersembunyi. Apapun wacana dan kebijakan yang dianggap kontroversi dan mengancam eksistensi kekuasaan baik dalan tatanan usulan maupun yang sudah menjadi regulasi. Selalu saja ada upaya mencari kambing hitam dan para pencuci piring kotor. Jokowi harus sesuai dengan identifikasi dan klasifikasi sebagai orang bersih meskipun dipenuhi kotoran dan dibentuk dari pencitraan semu. Tak bisa dicegah, Jokowi akhirnya dikenal publik lihai dan piawai menjadikan setiap orang atau kelompok tertentu menjadi korban ambisi kepentingan politiknya. Mirisnya lagi, tidak hanya membersihkan tangan kotornya, Jokowi juga cekatan membangun kesan pahlawan dalam dirinya dari konflik yang merugikan kepentingan rakyat, keberadaan dan eksistensi NKRI, oleh perilaku kekuasaannya.
Episode dari drama penundaan pemilu, memperpanjang jabatan presiden dan berujung amandemen UUD 1945 terkait presiden 3 periode. Semakin membuktikan Jokowi menjadi sosok yang sudah tak pantas lagi menjadi pemimpin dan tak ada lagi yang bisa dipercaya dari mulut maupun tindakannya. Jokowi tak ubahnya barang rongsokan yang betapapun dimodifikasi tetap tak berfungsi, apalagi sampai bisa bermanfaat. Kalaupun ada pemaksaan dan rekayasa apapun yang dilakukan, presiden boneka itu hanya akan menjadi kelinci percobaan yang mengalami eksperimen modifikasi disfungsi.