Pikiran baru saya itu, waktu itu, mobil listrik. Tidak perlu lagi BBM.
Memang ide terlalu awal: sampai ada yang mempertanyakan soal tingkat emisinya. Betapa lucunya pertanyaan itu.
Atau pertanyaan ini: di mana nanti charging-nya.
Sampai-sampai saya harus menemukan jawaban ini: kita itu bisa membangun ribuan pompa bensin. Yang biayanya bisa Rp 20 miliar/station. Padahal membangun stasiun charging itu hanya Rp 20 juta. Di mana sulitnya.
Tapi, ya sudahlah. Itu sudah lewat. Sudah lama sekali. Sudah 8 tahun. Perkembangan mobil listrik di dunia sudah begitu majunya. Sudah sulit dikejar.
Tapi pilihan solusinya kan tidak berubah: tanpa mobil listrik kita harus membangun kilang besar. Untuk mengolah minyak mentah menjadi BBM –dan turunannya.
Satu kilang besar berkapasitas 300.000 barel/hari memerlukan investasi Rp 70 triliun.
Bagaimana bisa balik modal? Siapa yang mau mengucurkan dana segajah bengkak itu?
Hitungan balik-modalnya lebih panjang dari jalan Daendels – -dari Anyer sampai ke Panarukan.
Pun waktu saya masih ikut rapat-rapat-tingkat-tinggi dulu itu. Yang dicari ya ‘tinggal’ itu: bagaimana bisa balik modal.
Kalau pun ada yang mulai berminat minta fasilitasnya ampun-ampun. Apa saja harus diberikan pada investor. Baik dari pemerintah maupun dari Pertamina.
Kesimpulan saya lagi: fasilitas yang diminta itu sampai begitu tidak masuk akalnya –akal sehat maupun akal nasionalisme.
Padahal kalau pun kita berhasil membangun kilang itu minyak mentahnya toh masih juga harus impor.
Tetap saja mobil listrik.
Sekarang saya harus tetap optimistis – -optimistis level tiga. Saya akan diam saja kalau pun diputuskan harus impor mobil listrik. Apa boleh buat. Akar pun jadi.
Pun kalau harus perusahaan asing yang mendirikan pabrik mobil listrik di Indonesia. Saya akan diam menerima.
Saya sudah siap mental untuk menerima new normal itu –ups, new reality itu.
Move on.
Toh harapan pada dua-kilang-besar-baru itu sudah pupus. Investor nan gagah berani dari Oman saja sudah mundur dari proyek itu di Bontang. Dan investor malaikat dari Saudi –Aramco– juga sudah mundur dari proyek kilang Cilacap.
Padahal tidak ada lagi isyu tanah. Pertamina sudah menyelesaikan pengadaan tanah yang sulit itu. Yang setiap kilang setidaknya 250 hektare itu.
Saya tidak tahu fasilitas apa saja yang sudah disetujui saat mereka ok membangun dua kilang itu. Tapi tidak perlu dibahas. Toh sudah batal.
Ups… Masih ada cadangan optimisme.
Mengapa tidak membangun kilang kecil-kecil saja? Misalnya kelas 10.000 barel/hari? Sekaligus banyak? Di beberapa lokasi? Terutama lokasi di dekat sumur minyak-mentah? Sekaligus memperbaiki rasio biaya logistik?
Tentu kita ingat lagi kilang kecil yang mati berdiri itu.
Sudahlah. Move on.
Para pengusaha lokal pasti bisa melakukannya lagi. Mereka pasti mampu. Seperti terbukti di Tuban –dekat lapangan minyak Cepu di Banyuurip itu. Yang milik pengusaha nasional dari ITB itu. Yang kemudian mati di lumbung itu.
Kilang itu milik TWU (Disway:Lumbung Itu Tidak Untuk Ayam). Yang tidak bisa lagi mendapat minyak-mentah –dari sumur minyak raksasa milik Exxon dan Pertamina itu.
Sampai sekarang kilang itu masih berdiri tegak. Mati berdiri.
Mungkin perlu dicoba terobosan itu lagi. Dengan aturan baru. Misalnya, minyak-mentah bagian pemerintah (dari bagi hasil) didedikasikan untuk kilang kecil. Asal dibangun di dekat sumur minyak. Tidak perlu lagi angkut-minyak-mentah-jarak-jauh seperti selama ini.
Tentu masih banyak masalah teknik. Yang tidak mungkin saya tulis di DI’s Way –pembaca bisa teriak ‘saya tidak bisa bernafas’. Saking teknisnya.
Tentu banyak juga alasan untuk tidak menyetujui terobosan itu.
Hanya diperlukan satu alasan saja untuk setuju. Terlalu banyak alasan untuk tidak setuju. (*)
Penulis: Dahlan Iskan