Marwan Batubara: Gugat Peran Satgasus di Tragedi KM 50, Proses Hukum Pro Justisia Kasus Pembantaian KM50 Belum Pernah Berlangsung

Satgasus Merah Putih Diduga Bertanggungjawab

Pada kasus KM 50, Irjen Ferdy Sambo menjabat sebagai Kadiv Propam yang menangani kasus pembunuhan enam pengawal HRS. Ketika menangani kasus KM 50, Sambo mengerahkan 30 anggota Tim Propam untuk mengungkap kasus tersebut. Memperhatikan posisi dan peran Sambo, berikut berbagai rekayasa dan kejahatan yang dilakukan dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), maka sangat relevan jika Sambo dan Satgasus dituntut bertanggungjawab dalam pembunuhan enam pengawal HRS.

*Pertama,* dalam kasus Brigadir J, Sambo merupakan otak yang merekayasa manipulasi dan eksekusi sadis pembunuhan berencana terhadap korban. Dalam kasus KM 50, Sambo berfungsi secara resmi sebagai pengusut insiden mewakili pemerintah. *Kedua,* pada awal pengusutan kasus Brigadir J, CCTV di lokasi kejadian sempat dinyatakan rusak (meskipun mungkin belakangan bisa direcover). Sedangkan dalam kasus KM 50, CCTV pun dinyatakan tidak berfungsi. Dirut Jasa Marga Subakti Syukur pun “ikut terlibat”, mengaku ada gangguan perekaman CCTV sepanjang Tol Jakarta-Cikampek pada saat insiden terjadi. Sebanyak 23 CCTV KM 49 – KM 72 “dinyatakan tidak dapat” melakukan perekaman data.

*Ketiga,* dalam kasus Brigadir J, Ferdy Sambo menyatakan terjadi baku tembak. Untungnya rekayasa tembak menembak ini terbongkar, meskipun belakangan dakwaan terhadap Sambo dan para terdakwa yang terlibat, terasa masih sarat rekayasa. Dalam kasus KM 50, Polri dan Kodam Jaya, termasuk Sambo dari Satgasus terlibat dalam rekayasa kasus, yang menyebut enam pengawal HRS memiliki senjata dan menyerang Polisi. Padahal keenam pengawal tidak memiliki senjata (senjata tajam & senjata api) dan tidak pula menyerang aparat.

*Keempat,* Anggota Satgasus, AKBP Handik Zusen, terlibat dalam rekayasa kasus Brigadir J. Dalam kasus KM 50, Handik Zusen yang merupakan Kasubdit Resmob Polda Metro Jaya dan Tim Sambo ini, berperan sebagai “komandan”, dimana setelah operasi pembantaian enam pengawal HRS, Handik memimpin selebrasi melingkar dengan yel kemenangan (7/12/2019).

*Kelima*, dalam pemeriksaan kasus Brigadir J, terungkap AKBP Ari Cahya Nugraha (Acay) berperan merekayasa CCTV atas perintah Sambo melalui Hendra Kurniawan. Ternyata dalam kasus KM 50, Acay juga berperan merekayasa perangkat dan konten CCTV. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus Brigadir J menyebut peran Acay (pada kasus Duren Tiga dan Km 50) dalam kesaksisan AKBP Arif Rahman Hakim.

*Keenam,* dalam “hasil pantauan” yang diakui sebagai “hasil penyelidikan”, Komnas HAM menjelaskan pengakuan Polri tentang keterlibatan empat kendaraan miliknya yang membuntuti Rombongan HRS, yakni Avanza K 9143 EL, Xenia B 1519 UTI, Xenia B 1542 POI dan Land Cruiser Hitam (Nopol palsu). Setelah kasus pembunuhan Brigadri J, terungkap bahwa Land Cruiser hitam tersebut diduga merupakan “milik” Fredy Sambo. Beredar pula foto anggota Satgassus Bripka Matius Marey berdiri di sebelah Land Cruiser hitam. Keseluruhan hal yang disebut diatas perlu diperjelas melalui penyelidikan oleh Komnas HAM.

Janji Presiden untuk menangani perkara ini secara transparan, adil dan dapat diterima oleh publik, hanya mungkin terwujud jika Pengadilan HAM digelar serta sesuai ketentuan UU No.26/2000. UU ini memberikan kesempatan dan peranserta TP 3 dan/atau masyarakat pegiat HAM sebagai anggota ad hoc penyelidik, ad hoc penyidik, ad hoc penuntut umum dan hakim ad hoc dalam peradilan HAM. Dalam hal ini Buku Putih TP3 telah menjawab pertanyaan publik perihal bagaimana dan siapa yang harus bertanggungjawab dalam peristiwa tersebut.

Terlepas dari berbagai rekayasa penguasa menutupi (cover-up) kasus pembunuhan sadis di KM 50, termasuk dugaan sandiwara dan basa-basi Kapolri Sigit yang “menghimbau” publik menyerahkan novum, TP3 akan terus melakukan advokasi. Bahwa apa yang dilakukan oleh aparat negara terhadap enam laskar pengawal HRS adalah Pelanggaran HAM Berat (crime against humanity). Presiden Jokowi pun perlu diingatkan untuk tidak mempertahankan prilaku King of Lip Service. Presiden dituntut bersikap konsisten dengan ucapan yang yang disampaikan kepada TP3 pada 9 Maret 2020: ingin menuntaskan kasus pembantaian tersebut secara adil, transparan dan diterima publik.

*Pak Jokowi, proses hukum pembantaian KM50 belum pernah berlangsung. Rakyat menanti realisasi janji anda. Tuntaskan kasus secara adil, transparan dan diterima publik!*

Jakarta, 7 November 2022.