Marwan Batubara: Gugat Peran Satgasus di Tragedi KM 50, Proses Hukum Pro Justisia Kasus Pembantaian KM50 Belum Pernah Berlangsung

By Marwan Batubara

Pak Jokowi, Proses Hukum Pro Justisia Kasus Pembantaian KM50 Belum Pernah Berlangsung. Rakyat Menanti Realisasi Janji Anda!

Pembunuhan terhadap enam pengawal HRS yang melibatkan aparat negara bersenjata secara sistematis, bukan perkara tindak pidana biasa. Pembunuhan atau pembantaian tersebut memenuhi kriteria sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), sehingga merupakan Pelanggaran HAM Berat yang harus diadili melalui Pengadilan HAM sesuai dengan UU No.26 Tahun 2000.

Pembunuhan enam pengawal HRS didahului penyiksaan. Sesuai Pasal 7 dan Pasal 9 UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM. Maka pembunuhan enam pengawal HRS merupakan pelanggaran Statuta Roma Tahun 1998 dan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi melalui Undang Undang No.5 Tahun 1998. Hal ini pun menegaskan bahwa proses hukum atas pelaku pembunuhan sadis tersebut harus melalui Pengadilan HAM, sesuai UU No.26/2000.

Berdasarkan UU No.26/2000, aktivitas yang telah dilakukan Komnas HAM perihal pembunuhan tersebut hanyalah “pemantauan” sesuai UU No.39/1999. Komnas HAM belum pernah melakukan penyelidikan. Karena itu pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat Rapat Kerja dengan Komisi 3 DPR (Jakarta, 25/8/2022) yang berjanji akan memproses Kasus KM 50 jika ada novum, menjadi sangat tidak relevan dan absurd.

Sebab, novum hanya valid diproses jika pengadilan pro justisia sudah pernah berlangsung. Padahal, karena penyelidikan kasusnya sendiri belum pernah dilakukan, maka pengadilan yang dirujuk Kapolri Sigit tersebut bagi TP3 belum pernah terjadi. Pernyataan Sigit dianggap bukti atas sikap Pemerintah yang tidak ingin mengungkap kasus pelanggaran HAM Berat tersebut secara seksama dan terbuka, sesuai janji Presiden Jokowi pada 9 Maret 2021.

TP3 telah menyatakan berulangkali bahwa TP3 tidak pernah mengakui proses pengadilan atas pelaku pembantaian enam pengawal HRS. Pengadilan tersebut merupakan pengadilan sesat sarat rekayasa, sebab tidak didasarkan pada hukum yang berlaku, yaitu proses yang harus dimulai dengan penyelidikan, dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan. Penyelidikan tersebut belum pernah dilakukan, dan jika Laporan pemantauan Komnas HAM dijadikan dasar berlangsungnya proses pengadilan, maka telah terjadi pelanggaran hukum secara sistematis.

TP3 menilai, permintaan Novum oleh Kapolri Sigit juga dapat diartikan sebagai dalih untuk menghindar dari tanggung jawab. Seolah kewajiban mencari novum itu berada diluar tanggungjawab Polri. Jika memang berkehendak, berniat baik, dan pro justisia, maka Kapolri dengan mudah dapat menemukan novum. Polri dapat pula menemukan berbagai novum dalam Buku Putih yang telah ditulis TP3. TP3 siap membantu Polri menemukan novum yang dimaksud. Buku TP3 adalah jawaban kepada Presiden Jokowi yang mempersilahkan TP3 menyampaikan temuan-temuan dan hasil kajian untuk penuntasan kasus pembunuhan tersebut (9/3/2020).

Karena itu, tuntutan TP3 untuk penuntasan kasus KM 50, juga ditujukan kepada Presiden, DPR dan Komnas HAM. Polri/Satgasus Merah Putih harus menjadi salah satu target penyelidikan Komnas HAM. Sebab yang dilakukan Polri justru menutup-nutupi (menyembunyikan) dan atau melindungi pelaku sebenarnya dengan cara menyelenggarakan peradilan sesat dan menyesatkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) terhadap tiga Anggota Polri. Tampak jelas pengadilan ini hanyalah porses hukum sarat rekayasa dan sandiwara.

Persidangan di PN Jaksel atas “terdakwa” Fikri Ramadhan dan M. Yusmin Ohorella yang divonis bebas (18/3/2022) telah dijadikan forum menunjukkan proses hukum telah berlangsung dan hukum telah ditegakkan. Padahal diyakini pengadilan tersebut adalah cara menutupi kejahatan sebenarnya, dan melindungi para pelaku kejahatan sistemik oleh aparat negara yang bergaris komando dari jerat hukum. Hakim-hakim membebaskan para terdakwa, termasuk pada sidang kasasi MA (12/9/2022), guna menunjukkan pembantaian sadis tersebut merupakan tindakan yang benar dalam rangka membela diri.