Dengan tugas-tugas di atas, secara umum PLN dan manajemen PLN memang harus memilih jalan apakah lebih mengutamakan efisiensi atau keandalan. Ada trade off antara efisensi dengan keandalan. Idealnya, sistem pelayanan listrik PLN haruslah efisien dan sekaligus andal! Pada masa-masa sebelumnya, manajemen penentu di PLN umumnya berlatar belakang engineers, sehingga tercatat cukup disiplin menjaga kendalan sistem dengan menyiapkan dan konsisten menjalankan berbagai standard operating procedures (SOP) yang telah dikaji secara komprehensif. Sehingga tercatat system blackout cukup minim terjadi.
Belakangan ini, manajemen penentu di PLN bukan berlatar belakang engineers, dan terkesan cenderung sedikit abai terhadap SOP, guna mencapai target-target efisiensi, sehingga keandalan sistem menjadi turun. Kasus kurang optimalnya peran P2B yang diungkap oleh Dahlan Iskan dapat menjadi salah satu contoh bagaimana SOP kurang mendapat perhatian.
Dengan keandalan sistem yang turun, maka kita tidak perlu heran kalau blackout terjadi. Blackout menjadi satu peristiwa biasa yang merupakan konsekuensi logis dari sistem yang diadopsi manajemen PLN belakangan ini.
Terlepas dari perbedaan sikap manajemen PLN di atas, di mana ada yang cenderung mengutamakan aspek efisiensi atau mengutamakan aspek keandalan, jika berpikir positif, pada dasarnya mereka memang harus menjalankan tugas atasan.
Namun, ditinjau dari kepentingan negara dan publik, maka akan jauh lebih baik jika mereka bersikap profesional dan independen, serta jauh dari sikap “Asal Bapak Senang” (ABS). Mereka harus berani mengatakan hal-hal yang objektif guna menyelamatkan pelayanan public dan citra negara.
Dalam konteks blackout yang baru saja terjadi, ternyata kebutuhan akan efisiensi oleh PLN bukan hanya harus dilakukan dalam rangka mencapai penerapan prinsip good corporate governance (GCG) sebagaimana seharusnya, tetapi juga harus dilakukan guna mengakomodasi berbagai “tugas yang bernuansa moral hazard”.
Pemberi tugas yang sarat moral hazard inilah tampaknya menjadi biang kerok dan berperan lebih besar sehingga telah memicu terjadinya blackout 4 Agustus 2019 yang sangat merugikan tersebut.
Dengan uraian di atas, maka mestinya rakyat sebagai konsumen listrik dapat memahami bahwa PLN bukanlah the accused atau satu-satunya subjek yang pantas dipersalahkan. Ada subjek-subjek lain yang lebih pantas dituntut untuk bertanggung jawab atas terjadinya blackout, di mana peran mereka justru lebih besar. Jika dikaitkan dengan judul tulisan ini, meskipun sedikit punya andil, tampaknya PLN telah diposisikan sebagai kambing hitam, sementara pihak-pihak yang menjadi biang kerok blackout tetap aman, atau malah tidak diketahui oleh publik bahwa sebenarnya merekalah the accused.
Audit Menyeluruh
Ke depan, guna menjaga daya tahan dan meningkatkan perlayanan listrik, maka perbaikan yang objektif, menyeluruh dan berkelanjutan harus dilakukan. Untuk itu, kita sepakat dengan usul banyak kalangan agar dilakukan proses audit. Namun langkah tersebut harusnya tidak terbatas hanya pada audit investigatif sisi teknis operasional seperti yang direncanakan oleh PLN, terutama untuk menemukan sebab terjadinya blackout. Proses audit pun tidak cukup melibatkan auditor independen seperti usul DPR (6/8/2019), tanpa jelas lingkupnya.
Karena menyangkut sektor publik, IRESS mengusulkan proses audit PLN dilakukan secara menyeluruh meliputi audit keuangan, audit kinerja dan audit dengan tujuan tertentu. Dengan audit keuangan, misalnya, akan terlihat objektivitas spending korporasi. Audit kinerja meliputi audit operasional dan manajemen, yang fokus pada penilaian aspek ekonomi dan efisiensi, dan jika dilengkapi audit program dapat pula dipakai untuk menilai efektivitas.
Sedangkan audit dengan tujuan tertentu adalah semua jenis audit selain audit keuangan dan audit operasional, termasuk di antaranya audit ketaatan dan audit investigatif atau forensik.
Beberapa hal penting yang harus diaudit antara lain adalah profil jenis, harga dan pemasok energi primer bagi PLN. Selanjutanya tentang profil kontrak, harga dan pemasok listrik swasta yang menerapkan skema take or pay. Hal-hal lain misalnya tentang dukungan kegiatan kampanye, penggunaan dana CSR, kontrak operasi dan maintenance, serta intervensi penyusunan RUPTL yang berdampak pada kinerja operasi pelayanan dan beban biaya PLN.
Untuk menjaga keandalan, misalnya, audit operasional diharapkan mampu mengungkap terjadinya perubahan atas SOP-SOP yang telah terbukti kredibel, namun diubah demi target efisiensi. Proses audit hanya akan bermanfaat jika diiringi dengan langkah-langkah konkret untuk perbaikan dan proses pengadilan jika terjadi tindak pidana. Karena itu, kita meminta pemerintah dan DPR benar-benar serius untuk mewujudkan terlaksananya proses audit menyeluruh tersebut.
Pengalaman menunjukkan di masa lalu berbagai temuan dalam proses audit dan hasil pansus-pansus DPR umumnya terhenti pada penyampaian hasil, tanpa proses tindak lanjut. Akibatnya langkah-langkah perbaikan tidak terjadi secara optimal dan subjek-subjek yang terlibat KKN umumnya aman dari jerat hukum.
Jika hal yang sama juga terjadi pada proses audit PLN yang akan datang, bersiaplah untuk mengalami blackout yang terus berulang yang levelnya bisa lebih parah.
Pemerintahan Jokowi kita tantang untuk memulai langkah audit menyeluruh dan berani bertanggung jawab atas berbagai temuan hasil audit yang melanggar hukum dan merugikan negara.
Hal yang sama harus berlaku untuk manajemen PLN. Publik tidak cukup hanya disuguhi informasi dan retorika tanpa esensi. Apalagi sekadar membesar-besarkan PLN sebagai kambing hitam sambil menyembunyikan biang kerok sebenarnya. (*)