Dalam dua tahun terkahir, nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS turun, harga Indonesian Crude Price (ICP) dan gas naik, serta ekonomi pun rutin mengalami inflasi. Menurut peraturan yang berlaku, pemerintah mestinya “menyesuaikan” tarif listrik karena perubahan berbagai variabel makro tersebut. Namun, tarif listrik tidak perlu naik jika tersedia anggaran subsidi APBN untuk mengkompensasi. Ternyata saat kebijakan tersebut ditetapkan, subsidi APBN tidak tersedia.
Menahan tarif listrik tanpa tambahan subsidi telah membuat PLN harus melakukan banyak penghematan, termasuk menunda berbagai rencana pembangunan infrastruktur listrik dan mengurangi beban biaya pemeliharaan yang sangat menentukan guna menjamin keandalan system jaringan listrik.
Dalam hal pemeliharaan, misalnya, mantan Dirut PLN Dahlan Iskan sempat menuliskan keprihatinan atas berkurang atau tidak optimalnya peran Pusat Pengatur Beban (P2B) PLN. Orang boleh berdalih kalau “penugasan” pemerintah tersebut kelak diganti melalui APBN. Namun dana yang dibutuhkan adalah pada saat itu, sehingga penghematan harus dilakukan saat itu juga, agar arus kas PLN tidak terganggu.
Selain tugas non-PSO bernuansa politis di atas, PLN pun harus melaksanakan “tugas” mengakomodasi berbagai proyek “oligarkis” penguasa- pengusaha berupa pasokan listrik swasta. Pasokan listrik ini tidak saja berharga lebih mahal (dibanding yang dipasok PLN sendiri), tetapi juga harus “diterima” dalam jumlah yang lebih besar dari yang dibutuhkan, karena menerapkan skema “take or pay”, bukan skema “delivery or pay”. Pasokan listrik swasta berskema take or pay ini telah menambah beban biaya operasi PLN, sehingga telah pula memaksa PLN untuk lebih banyak melakukan efisiensi.
“Tugas oligarkis” lainnya adalah menerima pembangunan sarana dalam lingkup Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang isinya sudah berubah dari rencana awal PLN, terutama untuk mengakomodasi harus dibangunnya pembangkit-pembangkit oleh investor tertentu (misalnya Riau-1). Pembangunan tersebut dapat saja membuat ketidakseimbangan antara pasokan/pembangkit dengan beban/ pelanggan intra wilayah. Jika sistem interkoneksi bermasalah, kondisi ketidakseimbangan akan memicu blackout yang parah seperti pada 4 Agustus 2019. Saat itu sistem pembangkitan Jawa Timur (reserve margin 54%) harus memasok system pembangkitan Jawa Barat (reserve margin 12%). Padahal sesuai acuan dalam RUPTL, reserve margin jaringan Jawa-Bali haruslah seimbang pada level 30-35%.
Lebih lanjut, tugas politis dan oligarkis telah pula mengurangi kemampuan keuangan PLN untuk dapat membangun pembangkit-pembangkit dan jaringan interkoneksi sesuai kebutuhan. Keterbatasan membangun pembangkit membuat PLN “terpaksa menerima” listrik swasta (Independent Power Producer/ IPP) yang biayanya lebih mahal. Keterbatasan membangun membangun jaringan interkoneksi membuat keandalan sistem pelayanan PLN menurun, sehingga rawan terhadap terjadinya blackout. Untuk dicatat, dalam proyek listrik 35.000 MW, PLN hanya mampu membangun sekitar 8.000 MW, sedang sekitar 27.000 MW sisanya akan dibangun oleh IPP.