Selain itu, muncul pula kampanye kalangan lain yang menginginkan segera diakhirinya status monopoli yang disandang PLN. Tujuan utamanya adalah agar dapat ikut menikmati keuntungan bisnis dari sektor kelistrikan. Hal-hal seperti ini bisa saja tidak relevan, sehingga perlu diperjelas.
Monopoli PLN di sektor kelistrikan merupakan status yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Sehingga kesempatan swasta untuk ikut menyediakan pelayanan listrik langsung kepada publik tertutup, kecuali jika amanat konstitusi tersebut diamendemen. Faktanya monopoli PLN bersifat natural monopoly yang menjamin terwujudnya pelayanan universal yang terbaik bagi Negara dan rakyat, sebagaimana dipraktikkan oleh mayoritas negara di dunia.
Dengan status monopoli, PLN dapat memberi pelayanan listrik yang adil, karena penetapan tarif diatur oleh pemerintah. Jika PLN harus menjalankan suatu kebijakan khusus, pemerintah pun siap menanggung beban sebagai konsekuensi.
Selain itu, guna terwujudnya pemerataan layanan, PLN dapat pula melakukan proses cross-subsidy antarwilayah konsumen.
Terhadap upaya pengkambinghitaman PLN, demi mengamankan posisi konstitusional dan mengungkap kondisi objektif yang sebenarnya, maka kita perlu melihat masalah blackout melalui perspektif yang lebih luas. Penulis tidak memungkiri bahwa PLN dan manajemen PLN ikut berkontribusi atas terjadinya blackout, dan karenanya harus pula ikut bertanggungjawab. Namun, tanggung jawab PLN tidaklah sebesar yang diperkirakan banyak kalangan. Karena ada pihak-pihak lain yang seharusnya ikut lebih bertanggung jawab, termasuk ikut menanggung klaim ganti rugi atau kompensasi bagi konsumen.
Secara operasional PLN ternyata harus menerima penugasan baik dalam bentuk public service obligation (PSO) maupun tugas-tugas non-PSO berupa intervensi penguasa untuk menjalankan berbagai agenda politis dan pencitraan, termasuk mendukung kegiatan kampanye, mengeluarkan kegiatan sosial perusahaan (CSR) yang tidak wajar dan menahan agar tarif listrik tidak naik dalam kondisi variabel ekonomi makro yang berubah.