Dalam perspektif Indonesia dan yang menjadi pertanyaan saya: mengapa PPSLN meloloskan surat suara ini ke tangan tidak-sah dan kriminal? Tata aturan ketat pemilu seyogianya tidak dengan mudah dilecehkan dan pasti ada berita acara yang menjadi bukti kapan dan di mana keteledoran ini terjadi. Pasti ada nama-nama yang bisa diperiksa. Jika nama-nama itu adalah WNI tentu Malaysia memiliki yurisdiksi untuk menyidiknya. Bagaimana kalau nama-nama itu diplomat yang memiliki kekebalan diplomatik? Sekiranya pemerintah R.I. menganggap ini pelanggaran lokal dalam arti pemerintah atau institusi RI tidak terlibat maka pemerintah bisa mencabut (waive) kekebalan diplomatik mereka agar pemeriksaan oleh otoritas Malaysia bisa dilaksanakan.
Keenam, kejahatan ini terjadi di wilayah yurisdiksi negara lain, dalam hal ini Malaysia. Kini Malaysia melalui Polisi Diraja sedang menyidik kasus ini. Jelas, pada batas tertentu Malaysia akan membantu otoritas penegakan hukum Indonesia dalam mengungkap kasus ini. Namun ada keterbatasan bahwa kita tidak bisa ‘mencampuri’ proses hukum yang sedang berjalan di Malaysia. Ada prosedur hukum acara dan ada pula hukum substantif ketentuan hukum nasional Malaysia yang membatasi. Dan tentu hukum internasional.
Ketujuh, pertimbangan politis dalam hubungan bilateral tidak bisa dilepaskan. Kasus ini merupakan kejahatan politik ini termasuk ‘extra-ordinary’ sehingga pasti pihak Malaysia ingin menunjukkan dirinya ‘netral’ dalam kontestasi politik di negara terpenting baginya. Artinya, tidak mudah bagi Pemerintah Malaysia membuka akses informasi seluas-luasnya kepada Indonesia. Jika sekadar KPU atau Duta Besar Rusdi Kirana yang meminta belum tentu akses dibuka seluas-luasnya.
Meskipun Malaysia mungkin mengantisipasi perubahan pemerintah di Indonesia dalam waktu dekat, namun pasti Malaysia mampu mengesankan mereka kooperatif dengan pemerintah R.I. sekarang. Karena itu, permintaan untuk memperoleh informasi seluas-luasnya atau permintaan untuk ‘menutup’ kasus memalukan itu oleh Presiden RI sekalipun belum tentu dipenuhi oleh Malaysia. Malaysia sedang mengumpulkan semua informasi dari berbagai sumber dan tentu dalam proses ini dapat difahami jika Malaysia ‘membatasi’ akses penegak hukum kita. Juga, Malaysia perlu menjaga sekiranya akan terjadi pergantian pemerintahan dan ingin membina hubungan dengan pemerintahan yang baru.
Perubahan politik di suatu negara membawa pengaruh pada kasus-kasus yang terkait dengan dua atau lebih negara yang terlibat. Setelah 7 tahun bermukim di kedutaan besar Equador di London sejak 2012, Julian Assange, pendiri Wikileaks yang banyak mempermalukan pemimpin negara dunia ditangkap. Perubahan status asylum (suaka) Assange ini karena perubahan politik di Equador. Tiba-tiba pemerintah pemenang pemilu Equador mencabut status suaka Assange. Pendiri Wikileaks itupun kapiran. Jadi, perubahan situasi dan kondisi politik di Indonesia pastilah menjadi salah satu pertimbangan Malaysia.
Kedelapan, hak untuk pemeriksaan dan penyidikan peristiwa pidana yang terjadi di wilayah kedaulatan suatu negara ada pada pemerintah berdaulat. Meskipun ada perjanjian ekstradisi karena alasan kedaulatan pula pemerintah setempat bisa menolak menyerahkan ‘penjahat’ kepada pemerintah darimana penjahat itu berasal. Dalam perjanjian ekstradisi, klausul ini selalu dicantumkan bahwa keputusan untuk menentukan apakah suatu kejahatan termasuk dalam ruang-lingkup kejahatan dalam perjanjian bilateral itu ada pada negara di mana peristiwa pidana itu terjadi.
Seorang ‘penjahat’ berdasarkan hukum negeri asal belum tentu sama dengan definisi di negara locus delicti. Seorang ‘penjahat ekonomi’ di tanah air bisa dianggap ‘pahlawan ekonomi’ di negeri di mana penjahat itu melarikan diri. Atau, seorang penjahat politik dalam definisi RRT mungkin –seperti misalnya pembangkang Xinjian—bukan kriminal di Indonesia atau di negara demokrasi yang menghormati hak-hak sipil dan politik karena penandatangan Konvensi PBB. Jadi, dalam konteks hubungan antar-negara tidak cukup dengan pertimbangan legal semata. Pertimbangan politik juga ikut bermain.