Kedua, siapa yang bersalah? Perlu dicatat, institusi-institusi negara yang terkait adalah: Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), dan dalam kaitan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) berada di bawah koordinasi dan kerjasama Kemlu – KPU dan Bawaslu yang bertemu di Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) sebagai organ yang berada di Pusat. PPLN inilah yang membawahi Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN) yang dibentuk di setiap negara akreditasi, sebagai koordinator pemungutan suara di semua TPS di negara akreditasi. Penyidikan harus melibatkan semua proses dalam kendali berbagai institusi ini.
Ketiga, apakah eksponen Paslon 02 terlibat? Ingin saya tegaskan yang tahu dan memiliki informasi lengkap adalah pemerintah Malaysia. Semua data sudah diperoleh polisi Malaysia. Sebagai Duta Besar, saya pernah menyelenggarakan pemilu luar negeri di tahun 2009. Jadi, saya mengerti bahwa untuk menjaga kejujuran, kebenaran dan hasil sah proses pemungutan suara ini maka administrasi, prosedur, tahapan, dokumen yg menjaga keabsahan proses pemungutan suara dan surat suara itu sendiri dilakukan secara ketat. Karena semua jalur kontrol ada di tangan KPU/PPLN kecurangan hanya bisa terjadi jika ada unsur di jalur komando yang curang. Jangan buang badan dan menuduh kompetitor Paslon 02 yang bermain. Ini jelas.
Jadi, betapapun kompetitor Paslon -2 ingin ‘bermain’ namun kontrol tetap berada di bawah KPU, Bawaslu dan PPLN di tingkat pusat. Yang mengendalikan proses pemungutan suara di luar negeri adalah PPSLN –organ PPLN—di mana Dubes menjadi otoritas tertinggi dan pihak yang bertanggungjawab jika terjadi ‘vote rigging’. Melalui Kedutaan Besar, maka kontrol penyelenggaraan pemilu di luar negeri ada di tangan pemerintah, setidaknya dalam memastikan kejujuran dan kebenaran proses pemungutan suara.
Saya memang prihatin ketika semua institusi negara dan pemerintah kini terimbas semangat partisan. Ini tidak boleh dan tidak etis. Yang saya tahu selama ini, KBRI tidak pernah menerima ‘instruksi pemerintah’ via Menlu agar Dubes membantu petahana untuk menang. Apalagi at all costs! Sebagai wakil negara, pemerintah dan rakyat, para Dubes itu seyogianya amanah dan tidak mudah mengorbankan reputasi dan nama baik untuk perbuatan hina ini yang satu ketika akan terungkap dan keadilan akan ditegakkan. Yang terjadi di Malaysia adalah penyimpangan dengan sengaja. Semua pelaku, termasuk Dubes, harus accountable dan diminta pertanggungjawaban mereka.
Keempat, mengapa KPU dan otoritas Indonesia mengalami kesulitan melakukan penyidikan dan mengambil tindakan hukum? Menurut saya vote-rigging ini merupakan kejahatan internasional yang tak pernah terjadi sebelumnya (unprecedented). Karena politis, maka tafsirannya longgar tergantung oleh pihak mana: Indonesia atau Malaysia. Karena politis maka kejahatan ini lebih berat dari sekadar penyelundupan senjata, manusia, narkotik atau peristiwa pembunuhan saudara tiri pemimpin Korut, Kim Jong-un di Malaysia. Pembunuhan terhadap Kim Jong-nam, di Malaysia yang juga menimpa WNI dan WN Vietnam ini sempat ramai di tanah air, ketika diklaim atas ‘diplomasi pemerintah’.
Karena itu pula KPU dengan enteng mengatakan anggap saja peristiwa itu tidak terjadi. Semua surat suara tercoblos tidak diakui dan dianggap tidak ada. Pernyataan ini membuat marah banyak pihak. Tetapi sejatinya memang KPU tidak memperoleh akses lebih jauh. Jika surat suara tercoblos bagi Indonesia dianggap tidak ada tidak demikian bagi Malaysia. Ada hukum pidana dan acara yang menetapkan status surat suara tercoblos sebagai barang bukti (barbuk). Jika Indonesia mengatakan tidak perlu dipersoalkan bagi Malaysia itu hanya pernyataan politis sebagai hak Indonesia untuk mengatakan demikian. Tetapi, barbuk tetap barbuk. Di sini banyak informasi yang menarik untuk diketahui.
Kelima, komplikasi kedua yang menyulitkan posisi Malaysia adalah kenyataan bahwa kasus ini melibatkan institusi negara, Embassy of the Republik of Indonesia to Malaysia, yang dilindungi oleh kekebalan diplomatik oleh hukum internasional. Ini membatasi yurisdiksi kedaulatan Malaysia.