Di Indonesia, kasus-kasus yang tak kalah menggemaskan juga banyak. Saya malas untuk menyebutkan nama orang berikut ini, enggan membuatnya populer. Tetapi berita tentang warga Banyuwangi, Jawa Timur yang mengaku aktivis antimasker itu viral pekan lalu, Sabtu (3/10). Dia menjemput paksa jenazah pasien yang belakangan diketahui positif Covid-19 setelah masuk rumah sakit dengan keluhan sesak napas dan hasil rapid test-nya reaktif.
Orang itu membuat video yang isinya mengungkap bahwa dirinya adalah pengikut Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Di awal pandemi merambah Indonesia, Terawan sempat bilang, “Masker untuk yang sakit, yang sehat nggak usah.” Pernyataan itu yang dipegang teguh oleh si aktivis sampai sekarang.
Dia juga berdalih bahwa dirinya berpegang pada panduan lawas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Aduh, ini orang kemana aja ya? Kok nggak menyimak perkembangan, katanya aktivis?
Covid-19 jelas-jelas merupakan penyakit baru. Selagi kita terlelap, ilmuwan di berbagai dunia terus bekerja menyibak misteri penyakit infeksi virus SARS-CoV-2 ini. WHO bahkan sudah lama mengeluarkan panduan soal pemakaian masker.
Terawan juga sudah sejak berbulan lalu pakai masker lho. Akan tetapi, alih-alih soal Covid-19, Terawan belakangan malah tampak lebih sibuk membuat keputusan yang diprotes sejawatnya. Soal daftar nama anggota Konsil Kedokteran Indonesia yang tak sesuai rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan asosiasi profesi dokter sempat memanas Agustus lalu.
Terkini, kebijakannya yang termuat dalam (PMK) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pelayanan Radiologi Klinik menuai polemik. IDI menilai, peraturan yang mengutamakan sejawat Terawan sebagai dokter spesialis radiologi itu berpotensi memunculkan gesekan di antara para dokter. Kalaupun risiko itu bisa diabaikan, masyarakat berisiko mengalami keterlambatan pelayanan radiologi, mulai dari USG kehamilan hingga pembuluh darah jantung.
Soalnya, sekarang layanan itu cuma boleh diberikan oleh radiolog yang jumlahnya sangat terbatas, yakni 1.578. Tadinya, 25 ribu dokter spesialis dari 15 bidang medis dan dokter umum bisa memberikan pelayanan radiologi.
Btw, Terawan dengar nggak ya, ada tenaga kesehatan yang sampai dilumuri tinja saat menjemput pasien Covid-19 di Surabaya, Jawa Timur? Tega bener ya…Sengaja melumuri orang pakai tinja sejatinya merupakan bentuk penghinaan besar terhadap harkat dan martabat manusia. Tinja tercatat dalam sejarah sebagai senjata primitif untuk perlawanan dan mempermalukan musuh.
Kejadian Selasa (29/9) lalu itu kini menjadi kasus hukum setelah dilaporkan ke polisi. Padahal, sebetulnya itu pilu sangat. Sang suami tengah berjuang sembuh dari Covid-19, sementara sang istri menghadapi ancaman pasal berlapis akibat perbuatannya.
Kalau lihat aspek kemanusiaan, tentu lebih baik memaafkan. Bisa jadi, ibu tersebut hanya paham sebatas itu soal Covid-19. Apalagi banyak miskonsepsi yang belum terluruskan mengenai pandemi yang telah menjangkiti sekitar 10 persen warga dunia. Angka itu disebut WHO pada awal pekan ini.