Menurut data Bank Dunia, Indonesia hanya pernah merasakan sekali pertumbuhan double digit pada tahun 1968, sebesar 10%. Saat krisis terjadi di 1997, perekonomian Thailand berkontraksi ke -2,7%, sementara perekonomian Indonesia anjlok sedikit ke4,7%.
Kemudian datang IMF, dengan resep yang sama kepada kedua negara tersebut. Pemberlakukan kurs mengambang, pengetatan moneter (menaikkan suku bunga bank), dan austerity fiskal, serta penerapan sejumlah Letter of Intent (LoI) yang isinya adalah rumus-rumus neoliberal seperti liberalisasi dan privatisasi.
Mata uang kedua negara pun terjun bebas, menyebabkan utang sektor swasta membengkak. Banyak perusahaan bangkrut dan menciptakan jutaan pengangguran di kedua negara.
Kemudian akibat kebijakan penaikkan suku bunga bank yang dilakukan dengan sangat drastis, yang terjadi malah kepanikan investor. Terjadi arus keluar modal (capital flight), penutupan sejumlah bank (akibat terjadi rush), sehingga memaksa kedua negara melakukan bailout untuk selamatkan sistem perbankannya.
Thailand harus mengucurkan bailout sebesar Bt. 300 miliar (sekitar USD 5,5 miliar, kurs akhir tahun 1998) dan Indonesia harus kucurkan bailout sebesar Rp 144,5 triliun (disebut BLBI, yang kemudian membengkak menjadi Rp 600 triliun bila ditambah beban bunga hingga tahun 2030).
Nilai ini belum ditambah dengan beban pinjaman IMF (yang tidak boleh digunakan, karena hanya untuk perkuat posisi neraca pembayaran) bagi kedua negara.
Hasilnya, di akhir 1998 perekonomian Thailand semakin berkontraksi ke -7,7% (lebih buruk dari Malaysia) dan perekonomian Indonesia hancur ke -13,1% (terburuk di antara seluruh negara yang menderita krisis).
Selama dua tahun berikutnya, 1999-2000, perekonomian Thailand hanya mampu pulih ke level 4,5%, sementara Indonesia hanya mampu tumbuh ke 0,79% (akhir 1999) dan 4,9% (2000).
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP).[kedaipena]