Islam merupakan agama kunci di era modern kini, sebuah informasi menyebutkan dari jumlah penduduk dunia yang berjumlah 7.021.836.029, sekitar 22.43% adalah pemeluk Islam. (www.republika.co.id: 13/1/2014]
Namun, jika ditanya apa itu Islam? maka beragam jawaban mungkin terlontar. Sebelum dijawab, tentunya perlu di perhatikan, definisi adalah gambaran sejati sebuah realitas. Definisi itu mesti menyeluruh meliputi semua aspek yang dideskripsikan, dan memproteksi sifat-sifat di luar substansi yang dibahas. Jika hal ini di abaikan definisi akan menjadi liberal, bebas seenak hawa nafsu dan kepentingan.
Lalu sebetulnya apa itu Islam? Jawabnya, Islam adalah Agama (ad-dîn) yang diturunkan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan sesamanya. (Dr. Samih Athif az-Zain, Al-Islâm wa Aidiyûlûjiyyah al-Insân, 1982: hal. 66)
Definisi ini mengandung tiga hal penting:
Pertama, Islam sebagai ‘agama yang diturunkan Allah’ bermakna, semua agama yang bukan berasal dari Allah, tentu bukanlah agama Islam. Seperti ajaran agama buatan manusia, semisal Hindu, Budha, Konghucu, Sintoisme dll. Jadi Islam adalah agama yang diturunkan hanya oleh Allah swt.
Kedua, Islam diturunkan ‘kepada Nabi Muhammad saw’ artinya, segala agama yang disampaikan kepada selain Nabi Muhammad saw bukanlah agama Islam. Baik yang diturunkan kepada Nabi Isa as, Musa as, atau Nabi dan Rasul yang lain, semuanya bukanlah agama Islam, termasuk agama Kristen, Yahudi dll. Jadi Islam itu merupakan agama yang diturunkan hanya kepada Nabi Muhammad saw, bukan kepada yang lain.
Ketiga, ‘yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri dan dengan sesamanya,’ merupakan deskripsi komprehensif tentang ajaran Islam, yang meliputi seluruh aspek; mulai dari urusan dunia sampai akhirat; baik yang menyangkut dosa, pahala, surga, neraka; maupun akidah, ibadah, ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan dan sebagainya.
Hal tersebut berdasarkan penelaahan teradap al-Quran sebagai berikut:
Allah swt berfirman: Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (QS. Ali Imrân [3]: 19). Ayat ini menjelaskan Islam sebagai agama samawi yang diturunkan Allah kepada manusia. Namun ketika Allah menjelaskan sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam, berarti agama lain, yang pernah diturunkan Allah tidak lagi diakui setelah Islam turun.
Makna itu diperkuat nas: Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agama kamu, dan telah Aku cukupkan untuk kamu nikmat-Ku, serta Aku ridhai Islam sebagai agama kamu. (QS. Al-Mâidah [5]: 3). Ayat ini menyatakan hanya Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah swt, sementara yang lain tidak. Ini bisa dimengerti dari mafhûm mukhâlafah (pengertian terbalik) lafadz: Aku ridhai, yang merupakan kata kerja sifat: Aku ridhai Islam sebagai agama kamu, yang bermakna: Aku tidak meridhai selain Islam sebagai agama kamu.
Pengertian itu kembali diperkuat nas berikut: Siapa saja yang mencari selain Islam sebagai agama, sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Ali Imrân [3]: 85). Ayat ini jelas menyebut kata: Islam sebagai Dîn (agama), sedangkan kata yang sama: Islam tidak pernah digunakan sekali pun oleh al-Quran menyebut nama agama-agama Nabi sebelumnya. Kalaupun disebutkan juga dengan ungkapan yang tidak jelas. Contoh: Sesungguhnya Kami telah mewahyukan kepadamu (Muhammad) sama seperti yang telah Kami wahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi setelahnya. (QS. An-Nisâ’ [4]: 163). Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) untuk mengikuti ‘millah’ Ibrahim yang lurus. (QS. An-Nahl [16]: 123).
Surat (An-Nisa: 163) diatas adalah ayat bermakna umum, ungkapan: Kami telah mewahyukan, bisa meliputi akidah (tauhid) dan syariah (sistem); juga bisa meliputi salah satu ataupun keduanya sekaligus. Begitupun ungkapan: mengikuti millah Ibrahim (An-Nahl: 123), bermakna umum, yang bisa meliputi dua hal, yaitu akidah dan syariah. Namun jika kedua-duanya yang dimaksudkan, yakni akidah dan syariahnya sekaligus, tentu maknanya bertentangan dengan nas muhkamat (yang jelas maknanya) berikut: Untuk masing-masing (ummat) di antara kamu, Kami telah tetapkan aturan dan syari’atnya sendiri-sendiri. (QS. Al-Mâidah [5]: 48).
Karena itu, pengertian yang tepat: Kami telah mewahyukan prinsip tauhid yang sama dengan apa yang Kami wahyukan kepada Nuh. Termasuk makna millah Ibrahim adalah: Mengikuti prinsip tauhid Ibrahim yang lurus. Meskipun dalam masalah syariatnya berbeda. Alasannya karena: Masing-masing telah kami tetapkan aturan dan syari’atnya sendiri-sendiri. (QS. Al-Mâidah: 48).
Adapun unkapan: Aslamtu ma’a Sulaimân (QS. An-Naml: 44), yang dinyatakan oleh Balqis, sama sekali tidak menunjukkan Balqis memeluk agama Islam, atau agama Nabi Sulaiman adalah Islam. Tetapi makna ayat tersebut adalah: Aku tunduk kepada Sulaiman dan agamanya. Sebab, tidak ada indikasi yang menjelaskan maksud tersebut. Antara lain tidak ada lafadz: Islâm dan Din, yang disebutkan dalam konteks ayat tersebut sebagai istilah agama Nabi Sulaiman, sekalipun lafadz: Aslamtu adalah satu akar kata dengan lafadz: Islâm.
Karena tidak selamanya lafadz yang asalnya satu akar kata maknanya sama. Contoh lafadz: Jama’a dengan lafadz: Jimâ’ jelas berbeda maknanya. Jama’a artinya mengumpulkan, sedangkan Jimâ’ artinya bersetubuh. Padahal keduanya adalah satu akar kata yang mengikuti wazan yang sama. Disamping itu lafadz: Aslama bisa diartikan: Tunduk dan patuh sebagaimana makna bahasanya. Ini termasuk lafadz: Muslim dan Muslimin. (Hafidz Abdurrahman, Diskursus Islam, 2004)
Alasan lain, pembahasan apakah agama Nabi terdahulu Islam atau tidak sebenarnya merupakan pembahasan akidah yang dijelaskan oleh al-Quran sebagai kisah, atau sesuatu yang realitasnya tidak ada pada saat ini. Sehingga untuk membuktikannya hanya bisa dilakukan melalui nas yang qath’i (pasti), sementara tidak ada satu pun nas qath’i yang menjelaskan pengertian seperti ini. Kecuali dengan teks yang umum: Aslamtu, Muslimîn dan Muslim dan sebagainya. Disamping juga karena tidak disertai indikasi yang bisa menjelaskan pengertian syar’inya, sehingga nas-nas tersebut tidak bisa diartikan dengan maksud memeluk agama Islam.
Yan S. Prasetiadi
Akademisi, tinggal di Purwakarta – Jawa Barat