Eramuslim.com -Peneliti Politik Internasional LIPI Sandy Nur Ikfal Raharjo mengatakan, kekerasan yang terjadi di Rakhine pekan ini merupakan tahap baru dalam konflik tentang isu minoritas Rohingya di Myanmar. Jika sebelumnya muslim Rohingya hanya menjadi objek kekerasan, kini sebagian mereka telah memilih untuk melawan dan membangun kekuatan bersenjata.
“Hal ini akan semakin memperumit upaya penyelesaian yang perlu dilakukan. Untuk mengatasi konflik di atas, ada beberapa isu penting yang perlu dipahami dulu oleh berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu aktor yang terlibat dan faktor penyebab konfliknya,” katanya, Senin (28/8).
Untuk aktor, setidaknya ada tiga kelompok aktor utama dalam konflik di Rakhine Myanmar, yaitu kelompok muslim, kelompok Budha, dan pemerintah. Pada kelompok Muslim, mereka terdiri atas orang-orang etnis Rohingya dan beberapa etnis minoritas lain seperti Kaman dan Rakhine Muslim.
Sebagian telah mendiami wilayah Rakhine sejak abad ke-15 dan sebagian lagi mulai menempati wilayah Rakhine pada abad ke-19 dan ke-20 pada masa kolonialisme Inggris. Sebagai kelompok minoritas, mereka berkepentingan agar hak-hak hidup dasar mereka dapat terpenuhi, baik hak sipil dan politik yang berupa pengakuan kewarganegaraan maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya yang berupa akses terhadap pendidikan, kesehatan serta pengakuan terhadap identitas agama mereka yang berbeda dari agama nasional negara.
Meskipun demikian, sejak tahun 1962 Pemerintah Myanmar telah menjalankan kebijakan dikriminatif, terutama terhadap Muslim Rohingya. Oleh karena itu, berbagai upaya perlawanan terhadap diskriminasi tersebut diwujudkan dalam bentuk perjuangan politik untuk mendirikan negara bagian muslim yang otonom.
Bahkan, terang Sandy, ada pula gerakan Mujahidin yang memperjuangkan hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dan menjadi negara yang merdeka. Di awal perjuangan mereka, kelompok Mujahidin ini berhasil dikalahkan oleh Pemerintah Myanmar.
Namun pecahnya konflik pekan ini menunjukkan bahwa mereka tetap eksis dan justru semakin kuat. Awalnya, gerakan perjuangan bersenjata dan politik ini tampak tidak terlalu bergema di kalangan komunitas Rohingya dan Muslim Rakhine. Namun akibat menjadi korban kekerasan terus-menerus, dukungan tersebut tampaknya mulai menguat sebagai harapan bagi komunitas muslim untuk memperjuangkan hak-haknya.
Aktor kedua adalah kelompok Budha, yang setidaknya ada tiga pihak yang bersatu pada konflik ini. Pertama, para politisi dari Rakhine Nationalities Development Party (RNDP) yang berperan sebagai aktor yang mensekuritisasi isu agama dan etnis kepada warga Budha Rakhine. Kedua, para biksu beraliran keras yang juga menjadi aktor yang mensekuritisasi gerakan anti-Muslim Rohingya dan menyuarakan pengusiran warga Muslim dari pemukiman yang didominasi orang Budha. Salah satu pimpinannya adalah Biksu Wirathu yang dijuluki oleh media internasional sebagai “Burmese bin Laden”. Ia memproduksi Digital Video Disc (DVD) dan selebaran yang menyebarkan rumor melawan Muslim.
Biksu Wirathu juga memimpin Gerakan 969 yang menghubungkan Budhisme dengan Nasionalisme Burma dan menyuarakan islamofobia/anti-Muslim. Walaupun demikian, ada pula beberapa biksu yang bersikap sebaliknya dengan membantu para pengungsi Muslim dan mempromosikan dialog antaragama sebagai salah satu cara penyelesaian konflik. Namun, jumlah mereka masih sedikit, bahkan oleh kelompok biksu garis keras yang mayoritas, mereka dianggap sebagai pengkhianat.
Dibalik posisi mereka sebagai kelompok mayoritas yang mengopresi kelompok minoritas, sebenarnya kepentingan mereka adalah pemenuhan dan pengakuan eksistensi kelompok mereka. Eksistensi mereka mulai terancam oleh keberadaan orang-orang Muslim yang mulai berkembang dari segi jumlah populasi maupun segi ekonomi.
Ketiga, masyarakat umum Budha Rakhine. Mereka berperan sebagai kelompok yang rentan diprovokasi dan dimobilisasi untuk melakukan kekerasan terhadap kelompok lain. Dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang rendah yang dikombinasikan dengan faktor elemen budaya dan agama akan tingginya kedudukan biksu dalam tatanan masyarakat, mereka akan mematuhi apa yang disampaikan oleh para biksu.
Aktor ketiga yang turut berperan penting dalam konflik adalah pemerintah. Mereka turut berperan sebagai aktor yang mensekuritisasi dengan mengatakan bahwa orang-orang Muslim Rohingya bukanlah bagian dari etnisitas asli Myanmar. Bahkan mereka juga meminta UNHCR untuk memindahkan para “pelintas batas ilegal” tersebut ke negara ketiga yang mau menerima mereka.
Pemerintah juga dianggap membiarkan kekerasan dilakukan oleh orang-orang Budha terhadap orang Muslim di Rakhine. Menurut Human Right Watch, ada aparat keamanan pemerintah yang dilaporkan terlibat aktif dalam pembunuhan dan penyiksaan terhadap minoritas muslim. Padahal pemerintah seharusnya dapat menjadi aktor fungsional yang membantu mendamaikan dua kelompok masyarakat yang berkonflik.
Untuk identifikasi faktor (penyebab konflik), ada tiga kategorisasi yaitu faktor pemicu, faktor akselerator, dan faktor struktural. Pada faktor pemicu (trigger), bentrokan pekan ini dipicu oleh berita diserangnya kamp pengungsi warga Muslim oleh aparat pemerintah yang mengakibatkan terbunuhnya 2 orang warga Muslim. tindakan telah menimbulkan kemarahan masyarakat dan kelompok bersenjata yang akhirnya berujung pada penyerangan puluhan pos polisi di wilayah tersebut.
Pada faktor yang bersifat akselerator, sudah ada perdebatan antarkelompok terkait isu orang-orang Muslim Rohingya apakah bagian dari etnis asli Myanmar atau bukan. Kelompok yang pro-Rohingya mengatakan bahwa mereka adalah penduduk asli Myanmar yang sudah menempati wilayah Rakhine jauh sebelum era kolonisasi Inggris. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa Rohingya harus dicatat sebagai salah satu kelompok etnis di Myanmar dan diberikan hak kewarganegaraan.
Di sisi lain, pemerintah dan kelompok yang anti-Rohingya yang lebih besar kekuatannya mengatakan bahwa orang Rohingya tidak pernah menjadi ras asli nasional di Myanmar, tetapi mereka adalah imigran dari Bengal yang datang setelah Perang Anglo-Burma tahun 1824. Sebagai imigran, mereka tidak berhak mendapatkan kewarganegaraan. Selain isu penolakan sebagian besar warga Budha Myanmar terhadap pengakuan etnis Rohingya, isu lain yang juga menjadi perhatian adalah adanya kecemburuan dan kecurigaan terhadap orang-orang minoritas Rohingya.
Populasi masyarakat Muslim Rohingya terus mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Perkembangan tersebut kemudian menimbulkan persaingan dengan orang-oang Budha Rakhine, baik dalam hal penguasaan lahan maupun dalam hal ekonomi/bisnis. Dengan demikian, kepentingan yang sebenarnya bukanlah kebutuhan untuk menjaga eksistensi agama Budha, tetapi lebih kepada kepentingan ekonomi.
Pada faktor yang bersifat struktural (mendasar), konflik di Rakhine sebenarnya merupakan puncak gunung es dari serangkaian kebijakan diskiminatif Pemerintah Myanmar sejak tahun 1962. Proses diskriminasi dilakukan secara sistematis, misalnya melalui pemisahan tempat tinggal warga muslim dengan warga mayoritas Budha, perampasan berbagai hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan melalui kebijakan untuk tidak memberikan status warga negara bagi orang-orang Muslim Rohingya. Mereka diharuskan membayar ketika ingin mengunjungi desa tetangga. Mereka juga tidak diizinkan untuk melakukan perjalanan ke lebih dari tiga kota. Mereka juga dibatasi aksesnya terhadap pendidikan tingkat kedua dan ketiga serta layanan-layanan publik lainnya. Diskriminasi ini kemudian lama-kelamaan memengaruhi cara pandang orang-orang Budha yang mayoritas terhadap orang Islam yang minoritas. Akibatnya, terjadi stereotip-stereotip negatif terhadap mereka sehingga diskiriminasi juga akhirnya dilakukan oleh warga masyarakat. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika konflik komunal warga Budha dengan warga Muslim tidak hanya terjadi pada tahun 2012–2013 saja, tetapi sebelumnya juga pernah terjadi pada tahun 1978, 1992, 2001, dan 2009.
Lalu, bagaimana cara penyelesaian yang dapat dilakukan? konflik komunal di Rakhine sudah masuk pada tahap limited destructive blows (penyerangan yang bersifat destruktif). Pada tahap ini seharusnya resolusi konflik sudah tidak dapat lagi mengandalkan kemampuan dan kemauan antarkelompok Budha dan Muslim yang berkonflik untuk menyelesaikan masalah melalui negosiasi. Langkah resolusi konflik yang dapat dilakukan adalah melalui mediasi atau arbitrasi pihak ketiga, dan juga sudah dapat menggunakan intervensi kekuatan (militer). Kemudian terkait dengan peran pemerintah yang justru ikut mensekuritisasi konflik maka tekanan dari dunia internasional perlu diperkuat agar mereka bertanggung jawab menyelesaikan konflik internal tersebut.
Dalam hal ini, ASEAN sebenarnya diharapkan dapat merangkul pemerintah Myanmar untuk berperan aktif dan netral dalam penyelesaian konflik. Namun, seperti diketahui bahwa ASEAN sangat menjunjung tinggi prinsip non-intervensi dan kedaulatan masing-masing negara anggota, sehingga sulit untuk mengharapkan ASEAN melakukan langkah konkrit selain himbauan-himbauan yang bersifat normatif. Tekanan yang lebih besar justru dapat dilakukan oleh negara-negara di luar ASEAN seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Jika kekerasan terus terjadi dan semakin parah bahkan menunjukkan adanya upaya nyata dilakukannya genosida terhadap warga Muslim Rohinya dan Rakhine, konsep Responsibility to Protect melalui intervensi kekuatan militer dari PBB dapat menjadi faktor deterrence (penggertak) agar pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, termasuk pemerintah Myanmar, menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dan yang paling penting, penyelesaian konflik hanya dapat dilakukan jika faktor struktural dihilangkan, yaitu melalui pencabutan kebijakan (undang-undang) yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas mualim di Myanmar.(kl/rol)