Suatu hari sepulang sekolah, seorang anak yang baru berusia duabelas tahun, sebut saja Umar, mengajukan pertanyaan kepada ayahnya. “Ayah, kenapa pasukan khusus selalu bergerak dalam formasi empat orang dalam satu unit operasinya?”
Sang ayah tidak segera menjawab, malah balik bertanya, “Kamu tahu darimana hal itu?” Dengan wajah serius Umar menjawab, “Desert Storm, First to Fight, dan Ghost Recon…”
Sang ayah tahu, itu adalah judul-judul game FPS (First Person Shoter). FPS adalah salah satu genre game dimana pemain seolah menjadi orang pertama yang terlibat dalam permainan tersebut. Sedangkan Desert Strom, First to Fight, dan Ghost Recon merupakan FPS game dimana pemainnya menjadi anggota dari sebuah unit pasukan khusus dengan berbagai macam misi operasi. Sang pemain bisa menjadi rifleman, sniper, pendukung, atau medic.
Sang ayah mengangguk dan menyuruh Umar agar duduk untuk mendengarkan jawabannya. Dengan lancar, sang ayah yang juga menggemari sejarah perang dan kemiliteran, memaparkan jika semua itu berawal dari perang konfrontasi antara Indonesia melawan Malaya di tahun 1960-an. Malaya yang merupakan peliharaan Inggris pun mendapat bantuan penuh dari negeri Ratu Elizabeth tersebut. Inggris mengrimkan satuan tempurnya yang terbaik, British SAS, untuk menggelar operasi Claret di belantara Kalimantan menghadapi pasukan Indonesia. Operasi Claret di Kalimantan inilah yang akhirnya mengilhami pasukan-pasukan elit seluruh dunia.
Game-game yang disebutkan Umar tadi merupakan game yang dibuat dengan tingkat presisi yang tinggi, baik jenis dan ragam senjata, teknik peperangan, dan sebagainya. Bahkan Close Combat: First to Fight (April 2005) merupakan game yang secara resmi menggandeng US Marine di dalam pembuatannya. Siapa pun yang memainkan game-game tersebut, akan bisa dengan mudah mengenal berbagai teknik dan alat kemiliteran yang benar-benar ada di dunia nyata.
Bermanfaat Atau Merusak
Sampai sekarang, game masih menjadi topik hangat di kalangan pendidik. Ada yang menudingnya sebagai biang kemalasan, kebodohan, kekerasan, dan seabreg perilaku negatif lainnya. Namun ada pula yang menganggapnya sebagai sesuatu yang positif, yang mengatakan jika sebuah game bisa memacu kreativitas, mencerdaskan, meluaskan wawasan, dan lain sebagainya.
Walau memicu kontroversi, anak-anak di zaman sekarang agaknya memang sulit untuk bisa dilepaskan dari game. Lihatlah di mana-mana, rental penyewaan game yang biasanya menyatu atau berdekatan dengan warung internet, selalu saja ramai oleh anak-anak. Bahkan tidak sedikit pula orang dewasa yang turut bermain di sana. Tidak pagi, tidak siang, tidak pula malam, selalu penuh.
Di antara yang pro dan kontra, ada pula yang mencoba untuk bersikap bijak. Mereka menganut prinsip, “Man behind the gun.” Orang di belakang suatu benda atau produklah yang menentukan baik atau buruknya.
Ibarat uang pajak, kalau berada di dalam sistem pemerintahan yang mentalnya maling, maka akan dipakai untuk memperkaya diri sendiri, namun jika berada di dalam sistem pemerintahan yang benar, maka mereka akan menyedikitkan pajak, memperbesar pemasukan negara dari sektor lain yang lebih produktif seperti ekspor dan sebagainya, serta menggunakan semua pemasukan negara dengan penuh amanah semata-mata demi mensejahterakan rakyatnya.
Mereka yang mencoba bersikap bijak tahu jika game itu ada sisi positif dan juga negatifnya. Mereka tahu jika game sekarang ini jauh lebih bermanfaat ketimbang siaran teve yang sarat dengan acara-acara sampah. Dan mereka tidak secara membabi-buta melarang anak-anaknya main game, asalkan mainnya di rumah dan mereka sendirilah—bersama anaknya—yang memilihkan jenis game seperti apa yang boleh dimainkan dan mana yang tidak baik untuk dimainkan. Bahkan tak jarang mereka menemani anaknya bermain game dan menerangkan apa-apa saja yang harus diketahui anaknya.
Mengapa harus di rumah? Karena jika sang anak bermain di dalam rumah, maka orangtua atau orang yang lebih dewasa bisa mengontrol dan memantau mereka, mengingatkan waktu sholat, waktu makan, lamanya waktu bermain, posisi duduk, volume suara, dan menerangkan apa-apa yang ada di dalam permainan tersebut.
Semua ini sangat sulit untuk diterapkan jika sang anak bermain game di luar rumah, semisal di tempat rental game dan sebagainya.
Mengapa harus mendampingi anak dalam memilih jenis game apa yang boleh dimainkan dan game mana yang tidak boleh dimainkan?
Orangtua sedikit banyak harus mengetahui jika game memiliki banyak genre. Setidaknya orangtua harus juga tahu nama dan jenis dari genre-genre game itu seperti RPG (Role Playing Game), FPS (First Person Shooter), Strategy (Real Time Strategy dan Turn Based Strategy), Simulation, Racing, Puzzle, Sport, dan lain sebagainya. Jika belum tahu, tanya saja sama Mbah Gugel.
Nah, setelah mengetahui genre-genre game, maka orangtua baru dapat mendampingi anaknya untuk memilih dan membeli game. Mereka baru bisa memilihkan mana game yang baik dan mana yang tidak. Tentunya sesuai dengan kepentingan keluarganya masing-masing.
Game dan Tarbiyah Askariyah
Yang tidak banyak diketahui masyarakat, dewasa ini para kadet dan tentara Amerika ternyata memanfaatkan konsol game untuk berlatih mengendalikan alat-alat canggih mereka. Profesor Nick Turse dalam bukunya “The Complex “ (2009) menulis jika para serdadu Amerika berlatih dengan menggunakan joystick, alat yang sama yang digunakan anak-anak untuk bermain plystation. Asal tahu saja, sekarang ini banyak sekali peralatan perang modern, apakah itu pesawat tempur, tank canggih, robot penghancur yang dikendalikan dari jarak jauh, pesawat tanpa awak yang bisa dipakai untuk membom, memotret, atau sekadar memata-matai, semuanya banyak yang pengendaliannya menggunakan Joystick. Bahkan para tentara itu juga berlatih perang dengan alat-alat simulasi yang sangat mirip dengan game-game komputer yang bisa didapat dengan mudah.
Angkatan Udara Amerika Serikat bahkan telah secara resmi menggandeng PlayStation untuk melengkapi komputer super miliknya yang bernama Condor Cluster. Bagian tertentu Condor Cluster terdiri dari 1.700 lebih prosesor PlayStation 3 Sony. Selain PlayStation, di tubuh Condor Cluster juga melekat 168 unit pengolahan grafis. Dengan berbagai perlengkapannnya, komputer super ini mampu melakukan komputasi sekitar 500 triliun kalkulasi per detik, yang membuatnya 50 ribu kali lebih ngebut ketimbang laptop rata-rata. Sistem komputer senilai USD 2 juta ini juga bisa membaca 20 halaman informasi per detik, bahkan meski 20 hingga 30 persen karakter di halaman tersebut telah dihapus.
“Komputer ini mampu menemukan semua kalimat dan kata yang ada di setiap halaman dengan tingkat akurasi 99, 9 persen,” kata Mark Barnell, Direktur laboratorium riset Angkatan Udara AS.
Angkatan Bersenjata AS memang sudah lama menggandeng produsen Game. Di tahun 1988, ada sebuah game yang aslinya merupakan sistem simulasi pesawat terbang, berjudul F19 Stealth Fighter. Game ini konon memakai sistem simulasi F117-Nighthawk yang disederhanakan dalam sistem kontrol PC. Di luar itu, pihak militer selalu bahu-membahu dengan pihak pengembang game untuk membuat simulasi permainan maya yang terbaik. Pihak militer sendiri pernah merilis sebuah video games untuk memberi gambaran pada masyarakat soal kondisi perang yang sesungguhnya. America’s Army adalah game dirilis oleh Angkatan Darat Amerika Serikat bekerja sama dengan Ubisot secara cuma-cuma. Lewat simulasi perang ini, diharapkan orang yang nantinya ikut dalam rekrutmen militer Angkatan Darat sudah tahu betul bagaimana sistem pelatihan di Angkatan Darat. Dengan begitu, angka orang-orang yang sudah DO saat pelatihan bisa berkurang.
Selain game ini, Angkatan Darat Amerika Serikat juga mensponsori dirilisnya game hebat Full Spectrum Warrior secara cuma-cuma sebagai alternatif. Semua game di atas merupakan game yang memiliki tingkat presisi tinggi.
Nah, sebagai umat Islam di mana Rasul Saw menyunahkan para orangtua agar mengajarkan anak-anaknya berenang, berkuda, dan memanah—ini sebagai bahasa simbolisme agar anak-anak diajarkan teknik-teknik dasar kemiliteran (Tarbiyah Askariyah)—maka bermain game tertentu bisa diartikan sebagai salah satu wasilah untuk mengenal ragam senjata dan teknik kemiliteran. Tentu saja, terdapat berbagai syarat ketat agar sang anak tidak malah terlena dengan permainan yang tidak bermanfaat. Semuanya memang berpulang kepada para orangtua, apakah mereka punya waktu untuk perkembangan anak-anaknya, memiliki pengetahuan tentang dunia anak-anak mereka sekarang yang sangat berbeda dengan dunia ketika mereka kecil, dan sebagainya. Wallahu’alam bishawab. [rz]