by M Rizal Fadillah
Mahkamah Konstitusi (MK) telah membentuk dan melantik Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Untuk mudahnya MK-1 membentuk MK-2. Ketua MK-1 Anwar Usman menjadi terperiksa utama karena diduga memiliki konflik kepentingan pada Perkara No.90/PUU-XXI/2023 mengenai gugatan batas usia Capres/Cawapres. MK-1 meloloskan Gibran keponakan Anwar Usman menjadi Cawapres. Publik menilai ada pelanggaran etik pada kasus ini. Beberapa laporan atau pengaduan dilayangkan kepada MK-1.
Untuk menguak ada atau tidak pelanggaran etik dipercayakan pada tiga anggota MK-2 yaitu Jimly Asshiddiqie (tokoh masyarakat), Bintan R. Saragih (akademisi) dan Wahiduddin Adams (hakim MK). MK-2 merupakan pelaksanaan Pasal 7A ayat (2) UU No 7 tahun 2020 tentang MK. MK-2 memulai bekerja dengan memanggil pelapor untuk mendengar alasan pelaporan/pengaduan.
Publik bereaksi atas Putusan yang dinilai kontroversial dan melebihi batas kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Ada tiga hal yang rentan terhadap penilaian negatif, yaitu :
Pertama, konflik kepentingan Ketua MK Anwar Usman karena obyek kasus soal batas usia berkaitan dengan upaya Gibran yang baru berusia 36 tahun untuk dapat maju sebagai Capres/Cawapres. Mengingat Gibran adalah keponakan maka tidak sepatutnya Anwar Usman untuk turut mengadili, apalagi sebagai Hakim Ketua.
Kedua, “bias decision” keputusan yang diambil hakim itu bias dalam arti tidak obyektif, tidak rasional dan tidak adil. Antara pengabulan batas usia 40 tahun dengan “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih dalam pemilu termasuk pilkada” adalah bias. Adanya narasi alternatif juga dapat disebut sebagai “smuggle decision” keputusan penyelundupan.
Ketiga, MK telah mengubah isi UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Kewenangan badan legislatif diambil alih oleh badan yudikatif. MK melampaui batas kewenangan. Narasi “atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih dalam pemilu termasuk pilkada” merupakan bid’ah keputusan.
Putusan yang “sengaja dan sistematis” untuk membuka peluang bagi Gibran yang berusia 36 tahun dapat mendaftar sebagai Cawapres adalah Putusan tendensius, keji dan mengacaukan hukum. Oleh karenanya MK-2 patut untuk menghukum MK-1.
Ada tiga kualifikasi sanksi yang dapat dikenakan kepada Hakim MK yaitu berat, sedang dan ringan. Berat, bagi tiga hakim yang menerima mutlak narasi Putusan. Sedang, bagi dua
hakim yang menerima dengan alasan berbeda (concurring opinion) dan ringan untuk empat hakim yang memiliki opini beda (dissenting opinion).
Sungguh gila Putusan yang membuka kesempatan Gibran Rakabuming Raka sebagai Walikota dapat maju sebagai Cawapres faktanya hanya di dukung oleh 3 (tiga) dari 9 (sembilan) Hakim. Dari 5 (lima) yang setuju, 2 (dua) diantaranya hanya sepakat untuk yang pernah/sedang menjabat sebagai Kepala Daerah di tingkat Provinsi.
Meskipun demikian seluruhnya harus mendapat hukuman karena kesembilan hakim itu secara kolektif kolegial atau bersama-sama bertanggungjawab atas Putusan yang telah menimbulkan akibat hukum zalim. Ini skandal berat. Minimal hukuman adalah memecat Anwar Usman dari status sebagai hakim MK. Wibawa MK telah hancur oleh ulah tangan, kaki dan hatinya.
Rakyat harus mengawal dan mendorong kerja MK-2 agar serius, berani, obyektif dan bertanggungjawab. Tanggungjawab dunia dan akherat. Sumpah bukan sekedar formalitas tetapi dapat berakibat adzab berat bagi mereka sendiri. Jangan teriak-teriak palsu tentang takut Tuhan ketika dirinya memang sedang menjadi Hantu yang mengingkari ajaran Tuhan.
Jimly Asshiddiqie, Bintan R. Saragih
dan Wahiduddin Adams kini sedang duduk di kursi bara api sorotan publik.
Semoga berpihak kepada kepentingan rakyat dengan mampu menangkis serangan uang, janji jabatan, maupun intimidasi kekuasaan.
Mahkamah Konstitusi bobrok harus digorok karena sudah diobok-obok oleh hakim mabok. Mengambil keputusan dengan cara yang jorok demi sekedar kepentingan bocah orok.
*) Pemerhati Politik dan kebangsaan
Bandung, 28 Oktober 2023