Semua pembicara “wakil pemerintah” tampil berbicara secara normatif, kecuali Prof Mahfud. Ia juga diberi kesempatan bicara terakhir, maka posisinya seperti menjadi pamungkas. Keuntungan di posisi itu, banyak. Leluasa menggunakan waktu, terutama leluasa mengcounter dan mementahkan argumentasi pembicara terdahulu, tanpa bisa dibalas.Karena posisi pamungkas itu sering diasumsikan isinya sebagai kesimpulan acara.
Karni Ilyas sering memilih pembicara di posisi orang netral untuk pembicara terakhir, bukan wakil kedua pihak yang “berkelahi pikiran ”. Jarang yang ditunjuk dari dua kelompok yang prokontra. (Saya sengaja menghindari istilah Cebong VS Kampret untuk tidak memperpanjang polarisasi politik identitas di masa Pilgub DKI 2017dan Pilpres 2019).
Mahfud tengah berbicara ketika di layar ponsel saya muncul notifikasi. Dari seorang kawan, wartawan senior, mantan pemimpin redaksi koran penting. Dia kirim pesan via WA. Dia curhat lelah mengikuti penuturan Mahfud, mencurigai Karni Ilyas memberi keistimewaan pada Menkopolhukam menggunakan waktu hampir setengah jam menurut hitungan dia.
Saking kecewanya, dia mematikan televisi saat Mahfud masih bicara. Tanggapan saya kepada kawan itu begini. Jangan salah, Mahfud justru membenarkan seluruh kritik pembicara yang mengkritik pemerintah dengan memaparkan semua pemerintahan sebelum Jokowi melakukan hal sama. Dari Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Megawati. Semua juga punya kesalahan, bahkan semua dianggap melanggar Pancasila. Itu yang membuat Bung Karno, Pak Harto, dan Gus Dur. Mahfud mengisahkan seperti dalam joke pedagang jeruk asal Madura yang diprotes pembeli karena jeruknya kecut. Pedagang itu berkilah . “Sampeyan masih mending cuma beli sekilo, tapi ribut. Saya beli satu colt asem semua, diam saja”.
Tiga Menguak Omnibus Law
Di bagian para penanggap atau kontra pemerintah ada ekonom Rizal Ramli, pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar, Ketua YLBH Asfinati, Presidium KAMI, Gatot Nurmantyo, dan lawyer senior Amir Syamsuddin.
“Daging wagyu ILC (meminjam istilah Rizal Ramli) terletak pada Trio Asfinawati, Zainal Arifin Mochtar, dan Rizal Ramli sendiri yang menguak tuntas seluruh isi Omnibus Law. Dari Trio inilah muncul sinyalemen keterlibatan kekuatan oligarki dalam pembuatan Omnibus Law.
Mereka adalah penguasa pertambangan dan penguasa lahan perkebunan yang berperan besar dalam kelahiran UU Sapujagat itu. Salah satu disebut adalah Airlangga Hartarto, Menko Perekonomian.
Asfinawati mengulik pada ancaman nasib buruh, kerusakan lingkungan secara mendalam dengan argumentasi yang sungguh memukau. Rizal Ramli membedah wajah ekonomi Indonesia yang menurut dia setahun sebelum pandemi memang sudah collaps. Utang negara yang menumpuk, bunganya 2 persen lebih mahal dari harga pasar, membuat beban negara makin berat. Bunga utang saja harus dibayar dengan utang pula. Data-data yang dipaparkan Rizal Ramli amat mencengangkan.