Apabila kita melakukan perjalanan, baik itu melalui jalan utama ataupun tidak, maka sudah barang tentu kita akan mudah menemukan berbagai atribut partai dan caleg yang menghiasi sepanjang jalan yang kita lewati.
Pemandangan ini sangat lumrah, karena Indonesia pada saat ini sedang larut dalam hingar bingarnya menyambut perhelatan akbar yang sering disebut sebagai ”pesta rakyat” ataupun ”pesta demokrasi” yang diselenggerakan setiap 5 tahun sekali.
Ditambah lagi, dengan adanya kampanye terbuka yang kini telah mulai dilakukan oleh semua partai dan caleg peserta pemilu, ikut meramaikan hangar bingarnya “pesta rakyat” ini.
Tentu saja tidak sedikit uang yang digelontorkan oleh partai dan para caleg dalam melakukan kampaye pemilu ini, tetapi setidaknya mereka telah melakukan hitung-hitungan dengan apa yang telah mereka keluarkan dan penghasilan yang akan mereka dapatkan, ketika mereka berhasil terpilih menjadi anggota dewan nantinya.
Tetapi, ada rasa kekhawatiran yang mendalam pada diri partai politik dan ataupun para calegnya dalam pemilu tahun ini. Kekhawatiran itu dilandasi dengan adanya fenomena golput (golongan putih) yang kini kian merebak pada berbagai pilkada di sejumlah daerah.
Sebut saja pilgub Jawa Barat misalnya, yang angka golputnya mencapai lebih dari 33%, pilgub Jawa Timur dengan angka golput 39,2%, pilgub Kaltim dengan angka golput 42%, dan begitupula yang terjadi disejumlah daerah lainnya, tidak jauh berbeda.
Fenomena golput ini mengundang MUI yang merupakan representasi umat turun tangan, dengan menggunakan otoritasnya sebagai mufti, mereka pun mulai mengeluarkan fatwa bahwa golput haram. Diharapkan dengan adanya fatwa ini, masyarakat mau menyalurkan suaranya pada pemilu tahun ini.
Tetapi alih-alih mendapatkan dukungan rakyat, fatwa ini justru mengundang banyak kecaman dari masyarakat. Alasannya, dalil yang digunakan MUI dalam mengeluarkan fatwa tidak relevan dengan keadaan yang sesungguhnya.
Contohnya apa yang dikemukakan oleh Dr. Sofjan S. Siregar. Ia menyatakan bahwa fatwa MUI yang mengharamkan golput adalah sebuah ‘blunder ijtihad’ dalam sejarah perfatwaan MUI. Justru mengharamkan golput itu hukumnya haram. “Sampai detik ini, saya gagal menemukan referensi dan rujukan serta dasar istinbath para ulama yang membahas masalah itu,” ujar Sofjan, doktor syariah lulusan Khartoum University, direktur ICCN, Ketua ICMI Orwil Eropa dan dosen Universitas Islam Eropa di Rotterdam.
“Oleh sebab itu, saya menyerukan kepada pematwa dan peserta rapat MUI yang terlibat dalam ‘manipulasi politik fatwa golput’ untuk bertobat dan minta maaf kepada umat Islam Indonesia, karena terlanjur membodohi umat,” tandas Sofjan (Detik.com, 27/1/2009).
Pengamat politik Indobarometer M. Qodari bahkan menilai, dengan fatwa tersebut MUI telah melanggengkan bobroknya sistem politik di Indonesia. “Kalau mereka dilarang untuk golput, hal itu justru menjustifikasi sistem politik yang tidak baik. Fatwa harusnya menganjurkan pada kebaikan,” jelas Qodari (Detik.com, 26/1/2009).
Komentar tajam juga dilontarkan oleh pengamat politik dan ekonomi, Ichsanuddin Noorsy. Menurut Noorsy, MUI tidak konsisten dalam berpijak mengeluarkan fatwanya. Sebab, Pemilu yang dilakukan dengan basis individual atau demokrasi liberal merupakan pemikiran Barat. Karenanya, Noorsy menambahkan, alasan dan argumen rasional MUI lemah.
“Fatwa MUI kali ini pun gagal merujuk al-Quran dan Hadis. Kalau fatwa ini mempertimbangkan kebaikan, berarti MUI mengabaikan kebenaran ajaran dan kecerdasan masyarakat,” tegasnya. (Detik.com, 27/01/2009)
Sebaiknya sebelum mengeluarkan fatwanya, MUI menganalisis dahulu penyebab masyarakat melakukan golput. Ulama dalam hal ini MUI yang merupakan pewaris para Nabi, seharusnya mendahulukan rasa takutnya kepada Allah SWT, bukan kepada mahluq-Nya, termasuk penguasa. Karena Allah SWT sendiri yang mengatakan dalam kitab-Nya, bahwa para ulama itu adalah mereka yang dengan ilmunya merasa takut kepada Allah SWT, sedangkan mereka yang secara keilmuan bisa disebut sebagai ulama, tetapi tidak ada rasa takut dalam drinya kepada Allah SWT, maka gelar ulamanya ini patut dipertanyakan?.
Penulis secara pribadi menganalisis, setidaknya ada 4 alasan mengapa masyarakat melakukan golput?.
Pertama, golput karena alasan tekhnis
Golongan ini adalah mereka yang tidak terdaftar dalam DPS (Daftar Pemilih Sementara) ataupun DPT ( Daftar Pemilih Tetap). Penyebabnya bisa dikarenakan kesalahan KPU dalam pendataan, pemerintah setempat ataupun orang yang bersangkutan. Atau bisa saja mereka sudah terdaftar, tetapi dalam hari H nya ada keperluan yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga mereka tidak bisa hadir di TPS (Tempat Pemungutan Suara).
Kedua, golput karena alasan ekonomis
Orang-orang yang melakukan golput karena alasan ini, biasanya mereka yang karena ma’isyah (mata pencaharian) tidak bisa meninggalkan aktivitasnya untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Golongan ini didominasi oleh para pedagang kecil, karyawan dengan upah harian dan pekerja serabutan lainnya.
Ketiga, golput karena alasan apatis
Golongan ini didominasi oleh mereka yang sudah tidak percaya lagi terhadap sistem dan penguasanya, tetapi mereka juga tidak melakukan perbuatan apapun untuk mengubahnya. Sehingga keberadaanya seperti tidak adanya, mereka merasa masa bodo dengan apa yang terjadi. Tentu saja, golongan seperti ini yang kita tidak harapkan, karena mereka berlepas diri dengan keadaan masyarakat dan mereka senantiasa menyalahkan keadaan serta menyerah dengan keadaan yang ada.
Keempat, golput karena alasan ideologis
Suara ini dikumandangkan oleh sebagian umat Islam dengan alasan yang hampir sama dengan alasan orang-orang apatis, golongan ini sudah tidak mempercayai system dan penguasa yang ada. Karena meyakini ada system yang lebih baik lagi daripada system sekarang yang berlaku, yakni system Islam.
Tetapi, jangan pernah menuduh orang-orang seperti ini sebagai orang yang berlepas diri dengan keadaan masyarakat. Justru mereka melakukan hal itu karena mereka sangat pro masyarakat, yang kini terus dibodohi oleh system yang berlaku.
Jiwa nasionalis mereka lebih tinggi daripada orang-orang yang mengaku nasionalis sekalipun, lihat-lah contohnya ketika Timor-timur akan melakukan referendum, mereka dengan lantang meneriakkan bahwa strategi tersebut adalah ulah para antek Amerika dan Australia yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan Indonesia, suara yang hampir tidak pernah diteriakkan oleh orang-orang nasionalis.
Mereka senantiasa mestandarkan perbuatannya dengan apa yang telah dilakukan oleh Rosulullah SAW, sebagai uswatun hasanah (contoh teladan). Jika saja Rosulullah SAW, menerima tawaran orang-orang kafir quraisy pada waktu itu, untuk melakukan kolaborasi dengan system yang ada, tentu mereka pun akan melakukannya.
Tetapi, ketegasan Rosulullah SAW untuk tidak masuk system kufur pada waktu itu, menjadi barometer bahwa hal itu tidak boleh dilakukan oleh mereka yang mengaku beriman dan menjadi pengikut Beliau SAW.
Penulis menyatakan bahwa tulisan ini bukan untuk mengajak golput kepada masyarakat, karena hak ikut pemilu adalah hak pembaca untuk menggunakannya. Tetapi, tentu saja apa yang kita perbuat dan kita pilih sekarang ini, akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Sedangkan menjawab kekhawatiran sebagian orang muslim bahwa jika umat Islam melakukan golput semua, tentu kepemimpinan ini akan dipegang oleh mereka yang tidak baik adalah tidak benar. Karena secara logika, jika kaum muslimin yang jumlahnya >80% ini golput semuanya, tentu kepemimpinan yang ada tidak legitimate, karena system pemilu di Indonesia mensyarakatkan kepemimpinan yang sah itu 50% + 1.
Mungkin saja pemilu sekarang ini akan membawa kepada perubahan, tetapi percayalah hal itu tidak akan membawa perubahan secara keseluruhan, hanya parsial saja. Jadi, apa yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini KPU pusat dengan dana 47,9 trilyun belum termasuk KPUD dan juga yang dikeluarkan oleh partai politik dan para caleg akan sia-sia belaka. Kita tunggu saja! (mahfud hidayat)