Mengobral sumber daya alam dan aset-aset BUMN, jelas merugikan bangsa ini. Terus-menerus berkiblat pada neolib sebagai model pembangunan ala Bank Dunia dan IMF, jelas mematikan potensi negeri ini untuk terbang lebih tinggi. Menimbun utang beribu-ribu triliun dalam waktu amat singkat jelas sangat membebani APBN, yang pada akhirnya merampas hak-hak rakyat dari postur anggaran.
Bukan itu saja, utang telah membuat kedaulatan Indonesia sebagai sebuah bangsa besar raib entah ke mana. secara de facto, para pejabat publik kita harus patuh dan taat pada kehendak para debitor. Walau untuk itu harus merugikan bangsa dan rakyat Indonesia.
Nah, untuk semua penderitaan dan kesengsaraan ini, harus ada pelaku yang bertanggungjawab. Untuk semua potensi kemajuan dan kejayaan di masa depan yang lenyap ini, harus ada pelaku yang dihukum. Hukuman keras dan tegas akan menjadi pelajaran bagi siapa saja agar tidak mengulangi kesalahan serupa.
Kita tidak ingin mengulangi kealpaan eforia reformasi 1998. Bangsa ini tidak boleh masuk ke lubang yang sama untuk kedua (kesekian?) kalinya. Mengirim 100 orang Indonesia paling brengsek ke pulau terpencil bernyamuk malaria adalah satu solusinya. Dan, itulah solusi yang ditawarkan Rizal Ramli. [***]
Penulis: Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS).[rakyatmerdeka]