Kedua, posisi mahasiswa sekarang berada dalam tekanan kampus. Sejak rektor dipilih oleh menteri dan dekan dipilih oleh rektor, maka kampus berada dalam kontrol.
Di zaman Orde Lama dan Orde Baru, kampus juga berada dalam kontrol. Ada juga mahasiswa, dosen dan rektor yang dipecat. Bahkan dipenjara. Tapi sekarang, kontrolnya lebih terstruktur. Melalui semua pimpinan kampus. Macam-macam, sikat!
Saat ini, nyaris rektor dan dekan menjadi alat kontrol kampus. Tidak saja mahasiswa, dosen yang terlalu kritis terhadap penguasa akan dapat teguran. Bahkan sebagian dapat teror dan intimidasi. Kasus diskusi publik di Fakultas Hukum UGM yang sempat ramai beberapa bulan lalu jadi salah satu buktinya. Gimana nasib kasusnya? Gelap!
Maka, ketika ada info tanggal 16 Juli 2020 mahasiswa seluruh Indonesia akan geruduk DPR berkaitan dengan RUU HIP dan RUU Omnibus Law, masyarakat agak apatis. Yang bener aja. Paling juga berapa jumlahnya. Begitu kira-kira keraguan masyarakat.
Selain tidak kompak, dan itu bisa dilihat dari sisi jumlah yang demo selama ini sehingga perlu bantuan anak-anak STM, juga cepat kendor. Demonya berhenti sebelum tuntatan dipenuhi. Layu sebelum berkembang. Memble!
Jika demo zaman dulu ada mahasiswa dianiaya dan mati, urusannya jadi panjang. Perubahan punya harapan. Saat ini, beberapa orang mati, termasuk mahasiswa saat demo, biasa saja. Demo berhenti dan kematian para korban seolah dilupakan. Mungkin sudah diganti dengan santunan, atau dapat hadiah sepeda. Kasihan nasib orang-orang yang mati itu. Doaku, semoga perjuangan kalian tak sia-sia. Dan kalian sudah bersama bidadari disana.
Meski begitu, bangsa ini harus tetap optimis. Berikan kesempatan kepada siapapun, termasuk mahasiswa untuk berjuang. Selama tidak destruktif, berjalan sesuai dengan aturan hukum, rakyat akan selalu dukung. Semoga kali ini, endingnya gak mengecewakan. (*)
Penulis: Dr. Tony Rosyid