Oleh: Asyari Usman
Presiden Jokowi pernah berjanji akan menggebuk mafia tanah. Dia perintahkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional ((BPN) Hadi Tjahjanto agar menggebuk mafia tanah.
Tapi, apakah penggebukan sudah dilakukan? Dan apakah aktivitas mafia tanah sudah berhenti?
Jauh dari itu. Aktivitas mafia terus berlangsung. Artinya, para mafia itu tetap berkeliaran. Bahkan semakin merajalela.
Kepala BPN membanggakan pemecatan 14 kepala kantor wilayah BPN. Wajar bangga. Tapi, di BPN itu ada belasan ribu pegawai. Ada ratusan pejabat pengambil keputusan. Banyak oknum yang bisa diajak bekerja sama oleh kalangan mafia tanah. Tentu dengan imbalan besar jika objek yang akan dirampas bernilai besar pula.
Tidak hanya di BPN. Di isntansi-instansi lain pun ada saja oknum yang siap mendukung keinginan mafia. Oknum-oknum itu ada di kepolisian, kejaksaan, dan di peradilan.
Oknum-oknum di berbagai instansi itu digunakan untuk mengacaukan fakta kepemilikan tanah. Dokumen asli tanah bisa ditimpa oleh dokumen lain yang ditunjukkan oleh mafia tanah. Sering terjadi pertikaian ketika secara tiba-tiba seseorang atau satu perusahaan besar datang ke satu bidang tanah dan langsung mengklaim bahwa tanah tersebut milik mereka. Inilah yang terjadi di banyak tempat.
Mereka tunjukkan sertifikat SHM (sertifikat hak milik) atau surat desa/kelurahan seperti girik, dan lain-lain. Dengan dasar ini, mereka memaksa untuk menguasai bidang-bidang tanah.
Bahkan, banyak pula kejadian pihak-pihak yang sama sekali tidak memiliki surat apa pun mengklaim sebagai pemilik tanah yang telah bersertifikat. Mereka mengerahkan preman untuk menduduki bidang-bidang tanah.
Cerita-cerita ini saya dapatkan ketika berbincang-bincang dengan para korban mafia tanah yang tergabung dalam paguyuban Forum Korban Mafia Tanah (FKMTI) di Jakarta belum lama ini.
Ada contoh yang terjadi di Balikpapan, Kalimantan Timur. Ibu Tri Murti, istri mantan perwira TNI yang seangkatan dengan Presiden SBY, mengalami upaya perampasan oleh pihak perusahaan. Ibu itu memiliki SHM. Sejak beberapa tahun ini tanah itu diputuskan berstatus quo. Kedua pihak tidak boleh melakukan kegiatan di atas tanah tersebut.
Seorang konsultan IT, Edwin Tumpamahuk, mengalami perampasan tanah seluas 5,000 M2. Lokasinya di Bintaro, Tangerang Selatan. Perusahaan pengembang mengklaim sebagai pemilik tanah Edwin dan membangun banyak rumah mewah di atasnya. Edwin memiliki SHM lengkap. Namun pihak perampas melanjutkan pencaplokan itu.
Edwin menang di pengadilan. Hakim memerintahkan agar SHM dikembalikan. Jaksa membuat berita acara penyerahan SHM itu tetapi tidak menyerahkannya kepada Edwin. Ahli IT ini menduga SHM itu dijual oleh jaksa kepada pengembang yang kalah di pengadilan.
Suatu hari, cerita Edwin, jaksa yang masih muda itu datang menjumpainya dan meminta ampun atas kesalahannya. Edwin memaafkannya tetapi proses hukum harus berlanjut.
Nah, mengapa si jaksa meminta ampun kepada Edwin? “Mungkin karena jaksa itu terkena penyakit tumor di matanya. Bengkak besar sekali. Biji matanya keluar,” ujar Edwin.
Orang-orang yang membeli rumah di atas tanah rampasan itu mendatangi Edwin. Mereka mengatakan sampai sekarang belum mendapatkan sertifikat tanah-rumah yang mereka beli.
Saya tanya Edwin, apakah sekarang mereka mungkin sudah punya sertifikat setelah dia yakin SHM 5,000 M2 itu dijual jaksa kepada pengembang? “Boleh jadi,” kata Edwin.
Lain lagi cerita Agusni yang tinggal di sekitar Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Ayahnya, almarhum, menguasai tanah seluas 2,000 M2 di Kelurahan Dukuh. Suatu hari datang sejumlah orang berpakaian dinas, yang diduga dari Kodam Jaya, menancapkan plang yang bertuliskan kepemilikan Kodam atas tanah itu.
Tetapi, kata Agusni, surat tanah yang mereka tunjukkan bukan merujuk ke tanah keluarga tsb. Alamat surat tanah itu berjarak sangat jauh dari tanah mereka yang diklaim. Hingga sekarang Pak Agus dan tiga saudarnya masih menempati tanah itu. Tetapi tidak nyaman karena plang Kodam yang tak berani dia singkirkan.
Sony Danang, seorang ahli IT juga, bercerita mengenai tanahnya yang diduduki oleh gerombolan preman. Lokasinya dekat Kota Wisata di Cibubur, Kabupaten
Bogor. Dengan luas 8,000 M2.
Kata Pak Sony, jalan masuk ke tanah/rumahnya itu ditutup. Seluas 3,000 M2 tanah itu dirampas. Sampai-sampai dia tak punya jalan masuk lagi.
Pihak yang merampas menunjukkan sertifikat yang ukuran dan lokasinya bukan di tanah Sony yang berbatasan langsung dengan sungai Cikeas. Sedangkan sertifikat perampas tidak menyebutkan batas dengan sungai. Artinya, sertifikat perampas itu salah alamat.
Hebatnya, mereka tetap menduduki tanah Sony. Logika sehat menunjukkan kepemilikan Sony atas tanah itu tidak diragukan keabsahannya. Tapi, begitulah kondisi negara ini. Yang berhak dirampas haknya oleh yang mampu membeli kekuasaan.
Ada cerita yang seru tentang tanah milik Hajjah Zubaidah. Di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur. Bu Zubaidah memguasai tanah seluas 2,000 M2. Berposisi sangat strategis. Tanah yang memiliki SHM ini diagunkan oleh Bu Zubaidah ke BCA untuk kredit usaha.
Zubaidah kaget ketika, suatu hari, datang petugas bank swasta yang menjelaskan bahwa tanah miliknya itu diklaim oleh seorang dibitur BLBI. Orang yang mengklaim itu menunjukkan sertifikat tanah. Tetapi alamat objek tanah di sertifikat tsb tidak sesuai dengan alamat tanah yang dikuasai Zubaidah.
Tanah Zubaidah kebetulan kena proyek jalan tol Becakayu. Dia dipastikan mendapat ganti rugi sebesar 9.7 miliar rupiah. Tapi, sampai hari ini dia tidak pernah menerima ganti rugi itu karena tanah itu diakui sebagai milik si perampas yang mengklaim kepemilikannya.
Hebatnya permainan hukum di sini, Mahkamah Agung (MA) memenangkan Zubaidah pada 2004 dengan status “inkracht” (berkekuatan tetap). Status ini mengakhiri petualangan Hindarto Budiman yang menggugat pemilikan tanah Zuabidah.
Entah bagaimana, pengacara Hindarto, yaitu Purnama Sutanto, bisa melanjutkan gugatan terhadap tanah tsb. Dia menagajulan Peninjauan Kembali (PK) ke MA atas putusan yang “inkracht” terkait status tanah yang dirampas.
Dahsyatnya, Purnama Sutanto menang. Sehingga tanah yang semula tidak bisa dirampas oleh Hindarto Budiman setelah proses perkara yang berliku-liku dan dimenangkan oleh Zubaidah, akhirnya jatuh ke tangan orang yang sama sekali tidak ada kaitan dengan Bu Hajjah.
Kasus ini menunjukkan betapa perampokan tanah oleh mafia bisa berlangsung mulus. Dokumen-dokumen otentik tidak menjamin kepemilikan bisa dipertahankan. Simpul-simpul penegakan hukum dan keadilan, mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga MA sebagai pengadilan tertinggi sangat rentan terhadap operasi mafia tanah.
Barangkali, itulah sebabnya banyak orang yang berpendapat bahwa perampasan tanah oleh para mafia akan menjadi bom waktu yang berdaya ledak sangat kuat. Dan bom waktu itu bisa saja meledak setiap saat. Para mafia tanah merakit bom waktu itu dengan sangat bagus.
Kriminalisasi Ketua FKMTI Supardi Kendi Budiardjo adalah bagian dari pekerjaan mafia merakit bom waktu tersebut. Pak Budi ingin dibungkam oleh mereka agar perlawanan terhadap mafia tanah melemah dan kemudian padam.[]
24 Januari 2023
(Penulis Wartawan Senior)