Bagi rakyat cara seperti ini tentu tak memadai. Dibutuhkan arahan yang cepat, pasti, dan terukur karena fakta di lapangan korban terus berjatuhan.
Jurubicara Pemerintah belepotan dan tidak satu komando. Menkes bilang Jubir salah persepsi soal orang miskin penular penyakit.
Bantah membantah pun terjadi. Fadjroel diklarifikasi Pratikno. Sementara Menteri Yasonna diluruskan Menko Mahfud. Menko Luhut buat masalah dengan Said Didu. Faisal Basri menyebut Luhut lebih berbahaya daripada virus corona.
Presiden tak jelas arahan. Pidato soal Darurat Sipil diserang habis. Janji bebas cicilan setahun berbenturan dengan kepentingan perbankan atau lembaga keuangan termasuk perusahaan leasing.
BPJS tidak juga diturunkan sebagaimana Putusan Mahkamah Agung. Janji soal tarif listrik masih mengawang-awang. Janji baru soal perumahan muncul juga. Namun semua itu dalam posisi wibawa rendah dan kepercayaan publik yang merosot tajam.
Hanya memang ini negara Indonesia, bukan sebagaimana Brazilia. Elemen negara dan mungkin rakyat memiliki tingkat kesabaran dan toleransi tinggi. Masih saling menghormati dan menghargai. Menjaga kondusivitas dan stabilitas. Virus corona tetap menjadi tantangan prioritas bersama. Walau disinyalir ada pihak yang selalu “mencari kesempatan dalam kesempitan”.
Presiden harus tampil untuk menunjukkan kinerja prima. Koreksi penampilan lama yang lambat, bimbang, serta dominan pencitraan. Saatnya serius singsingkan lengan baju untuk kerja, kerja, dan kerja. Koordinasi lebih bagus. Tidak me-lockdown diri dan “klik”nya.
Atau sebenarnya ada kondisi yang sebenarnya publik tidak tahu bahwa Presiden sesungguhnya sudah lelah atau menyerah? Menkeu Sri Mulyani mengkhawatirkan dampak krisis ekonomi lebih dari yang terjadi tahun 1998.
Perlu kejelasan hal seserius ini karena menyangkut kepemimpinan nasional kita bersama.
Masih mampukah Presiden?(end/glr)
(Penulis: M. Rizal Fadillah, Pemerhati Publik)