Atas gonjang ganjing ini tentu langkah yang bisa diambil khususnya oleh Ormas Islam adalah dengan cara di samping klarifikasi bahwa keberangkatan ke Xinjiang untuk meninjau “kamp re-edukasi” muslim Uighur itu bebas dari suap baik biaya perjalanan atau khususnya “bekal” yang dikategorikan suap oleh WSJ tersebut, juga menunjukkan bukti bahwa Ormas Islam tidak terpengaruh dalam memandang dan bersikap terhadap pelanggaran HAM oleh Pemerintah Cina terhadap muslim Uighur.
Lebih lanjut dapat dilakukan protes keras kepada WSJ atas pelaporan yang dinilai tidak benar itu. Ormas Islam MUI, Muhammadiyah, NU baik sendiri-sendiri maupun bersama sama menyatakan sikap yang konsisten, tegas, dan keras untuk tetap mengutuk Pemerintah Cina yang memang telah melakukan penyiksaan dan “pencucian otak” di kamp “re-edukasi” khususnya dan perlakuan zalim pada umumnya terhadap komunitas muslim Uighur di Propinsi Xinjiang.
RRC telah melakukan kejahatan kemanusian dan permusuhan kepada umat.
Cina dengan kekuatan ekonominya .menjadi negara berbahaya di dunia yang mampu menundukan perlawanan. Cina sudah menjadi “kekaisaran” yang mendominasi dunia. Kekuatan ekonomi Cina mampu membeli berbagai interes politik baik melalui investasi maupun suap-suap. Di berbagai belahan dunia dimana Cina dominan maka suap menyuap menjadi kultur yang melekat dengan masyarakat Cina yang berdiaspora.
Kini atas “bahaya Cina” ini bangsa Indonesia khususnya umat Islam harus semakin waspada. Tidak membuka pintu keramahan yang pada hakekatnya adalah kepatuhan dan ketundukan pada kekuasaan politik dan uang Cina.
Kebangkitan kesadaran lokal berbangsa dan bernegara adalah jawaban atas tantangan invasi dan hegemoni global Cina. Pribumi membangun harga diri dan heroisme dalam melawan segala bentuk penjajahan. (*end)
Palembang, 16 Desember 2019
Penulis: M. Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)