Ini pertanda musibah sedang melanda Negara Kesatuan Republik Indonesia. Cara pandang yang keliru tentang kedamaian, keadilan, dan ketertiban.
Ingin damai tapi memakai strategi perang, bagaikan ingin rukun dengan metode adu domba. Inilah paradoks dalam membangun negeri. Memberantas radikalisme dengan cara cara yang radikal.
Strategi “semburan fitnah” sedang dijalankan. Menuduh orang laing yang sebenarnya sedang dilakukan oleh dirinya. Maling teriak maling.
Pemerintah yang menjalankan pola seperti ini sangat berbahaya. Ini gaya kolonialisme di era milenial. Penuh dengan kepalsuan dan rekayasa. Membodohi rakyat semesta.
Semua institusi dicurigai dan dimata-matai. Dari Perguruan Tinggi hingga PAUD. Masjid hingga lembaga pernikahan. Dosen, guru hingga karyawan. ASN dan aparat TNI dipantau. Rakyat rasanya sedang dimusuhi. Dukungan dan simpati yang diabaikan.
Wapres adalah Kiai yang setelah menjadi pejabat menjadi aneh. Bukan tampil sebagai pembela umat, akan tetapi justru memojokkan.
Tudingan PAUD terpapar radikalisme adalah “asbun” tidak memiliki alasan kuat dan pembuktian. Bagai melempar batu untuk membunuh seekor ikan di samudra yang luas.
Wapres ikut-ikutan berceloteh soal radikalisme. Apa tolok ukur, batasan, atau pelanggaran hukumnya?
Gus Mus atau KH. Mustofa Bisri menyinggung kondisi negeri dalam puisi “Negeri ha ha hi hi”. Negara yang dikelola dengan penuh lucu-lucuan. Negara PAUD.
Ada Presiden naik kereta keretaan di Mall. Ada puluhan ribu ton beras harus dibuang. Ada jutaan telur ayam yang mesti dimusnahkan. Ada pula Dirut Garuda membawa selundupan “moge” di pesawat “miliknya”. Lucu memang dunia anak-anak. (*end)
Penulis: M. Rizal Fadillah