Di saat seperti ini, harus ada upaya yang dilakukan dalam kerangka menciptakan ruang kepercayaan publik atas hal-hal yang benar. Problemnya, kita memang telah terjebak dalam polarisasi politik yang sangat mengkhawatirkan.
Bahkan di saat konflik di Timur Tengah yang mereda (Kompas, 16/3) seiring dengan merebaknya virus Corona, kita masih sibuk bertikai tidak berkesudahan. Sebuah ironi terjadi.
Mungkin saja prinsipnya Tiji Tibeh -mati siji mati kabeh, kita seolah tidak hendak keluar dari persoalan yang mengancam nyawa banyak orang ini, dibandingkan dengan membela kepentingan politik praktis yang sesaat. Politik memang menjadi harga mati di negeri ini!
Sulit untuk saling menguatkan, apalagi memberi dukungan. Sementara perang narasi terjadi di sosial media, disisi lain tenaga medis kita berjibaku berhadapan dengan potensi paparan risiko Corona. Tidakkah situasi ini mengerikan? Kita kehilangan empati dan simpati kemanusiaan, hanya untuk memenangkan kelompok.
Penertiban Buzzer
Sudah saatnya proses move on politik ini benar-benar dimulai. Kepentingan kelompok yang terfragmentasi dalam proses politik terdahulu hendaknya diselesaikan. Setidaknya, untuk berdamai sementara waktu dalam rentang periode kali ini, yang terkait langsung dengan momentum potensi kehilangan nyawa.
Berkelahi tiada henti dalam urusan politik hanya menghabiskan energi. Bahkan sebelum berhadapan dengan Corona, kita telah kehilangan stamina. Daya tahan harus ditopang daya beli. Kalau kemudian kebijakan dipengaruhi oleh opini keliru yang dibentuk para buzzer, tentu sulit dibayangkan.
Pemerintah pusat mendelegasikan kepada kewenangan daerah. Aspek desentralisasi penanganan terjadi. Sebagai otoritas tertinggi, komunikasi dan koordinasi harus dikembangkan bersama dengan seluruh daerah di tanah air. Kebisingan sosial media, tidak mencerminkan kepentingan publik.
Noise terus didengungkan, sementara voice publik justru terhalangi. Kematian bukan hal baru bagi kelompok marjinal yang tidak tersentuh pada banyak kebijakan yang tidak memihak. Corona ada dalam keseharian kehidupan kita.
Hal yang seharusnya mampu dijaga adalah modalitas sosial, yakni persatuan dan kebersamaan. Jadi, ketimbang membiarkan para buzzer terus bekerja, sebaiknya ada upaya untuk me-lockdown mereka. Level kritik tentu berbeda dengan gangguan kebijakan, periksa tone dan konstruksi sentimennya.