Perpolitikan global saat ini, menurut Kiki, diwarnai oleh kemunculan politik identitas sebagai jawaban terhadap globalisasi dengan kemajuan teknologi terutama teknologi informasi yang telah menghilangkan sekat identitas kelompok, baik berdasarkan ras, etnis, agama, budaya, atau ciri primordial lainnya.
Keinginan kelompok-kelompok tersebut untuk tetap eksis secara politik, ekonomi maupun budaya pada gilirannya telah memunculkan politik identitas. Kemunculan politik identitas di Indonesia pada kenyataannya telah didominasi oleh warna agama seperti tercermin dalam pilkada DKI Jakarta lalu.
“Manakala agama yang sakral dimasukkan dalam ranah politik yang cenderung kotor, fitnah, menghalalkan segala cara, maka akan melahirkan iklim konflik dalam kehidupan beragama,” ujar Kiki.
Bila suasana konflik tersebut terjadi antar agama, niscaya akan ditanggapi oleh umat atau pengikutnya masing-masing dengan sangat emosional. Dengan demikian perkembangan politik identitas in sangat tidak sehat, rawan, berbahaya dan menjadi ancaman bagi Pancasila, keutuhan bangsa dan kelangsuan negara,” ujar Kiki.
Kedua, kemunculan gerakan populisme. Populisme dalam pengertian sederhana adalah gerakan massa-rakyat yang tidak berdasarkan pada kelas, melawan segelintir elit penguasa mapan dan korup, tidak demokratis serta hanya mementingkan diri sendiri.
Populisme, ujar Kiki, bukan sebuah ideologi tapi sebuah logika politik yang mempunyai variant, namun persamaannya semua memiliki kecurigaan terhadap elit, semua memusuhi elti, membenci mainstream politics atau arus utama dalam politik, dan institusi yang mapan.
Gerakan populisme ini menjadi berbahaya terutama bagi Indonesia karena dalam upaya memenangkan tujuan politiknya seringkali dilakukan dengan menghalalkan segala cara seperti menyebarkan berita hoax dan fitnah.
“Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta yang lalu, nampak jelas adanya sinergi antara politik identitas dengan gerakan populisme,” kata Kiki.
Kepada para uskup yang menghadiri diskusi ini di Papua, Kiki menegaskan, populisme ini sangat sulit dicegah apalagi dilarang. Untuk membatasnya atau dikanalisasi, maka diperlukan regulasi yang ketat.
Dalam jangka panjang, pembangunan karakter dengan penyemaian nilai-nilai luhuru bangsa khususnya Pancasila akan menjadi filter yang ampuh bagi pencegahan bahaya atau ancaman oleh politik identitas dan gerakan populisme.(kl/ts)