Sementara apa yang disampaikan Jokowi menurutnya lebih aneh lagi. Pasalnya, ketika debat berlangsung tiba-tiba saja Jokowi bicara tentang poros maritim. “Saya orang maritim. Saya berpikir yang dimaksud dengan poros maritim itu apa. Indonesia itu adalah benua maritim, bukan negara maritim. Poros itu opo, saya tidak mengerti. Lebih lagi ketika dia (Jokowi) ngomong tol laut. Itu tidak tepat,” tegas lulusan Akademi Angkatan Laut (ALL) angkatan ke XV Tahun 1969 ini.
Baginya, sistem pertahanan Indonesia sebenarnya sistem Hankamrata, yaitu sistem pertahanan rakyat semesta. “Bila kita mau jujur, alutsista kita yang paling utama bukan lagi kita bicara pada main battle tank atau bicara kapal yang tangguh dan lain-lain. Alutsista yang paling pokok adalah rakyat,” jelasnya.
Sebagai seorang nasionalis, Suharto menilai perlu adanya undang-undang wajib militer. “Bukan berarti negara kita akan dijadikan negara militerisme. Kita ingin menjadikan rakyat kita mempunyai kemampuan membela negara dan mempunyai satu sikap disiplin,” ujarnya.
Saat masih memimpin Komandan Korps Marinir. “Ora dibandhani opo-opo (tidak pernah diberi anggaran yang cukup memadai untuk memperkuat dirinya) dari mulai kemerdekaan sampai sekarang. Tank saya itu adalah tank buatan tahun 1958-1960. Supaya 700 tank jalan waktu itu, saya utus perwira ke Belanda, ke tempat rongsokan bekas perang dunia ke 2 untuk mencari spare part,” imbuhnya.
Menurut pria yang lahir di Palembang ini, ketahanan Indonesia terbilang sangat kurang. Sehingga negara yang besar ini kerapkali dilecehkan Malaysia. “Bila ditanya apa yang dipakai untuk pertahanan, saya cukup beli Surface to Surface Missile (SSM). Pasang di sepanjang pantai timur Sumatera. SSM kita beli aja.
Kalau tidak boleh beli dari Cina, beli dari Rusia. Bila masih tetap tidak boleh, kita bisa beli dari Ukraina. Bila perlu beli dari Korea Utara yang punya kemampuan 300 sampai 400 kilometer. Murah kok itu. Untuk apa harus beli mahal-mahal,” ujarnya.