Lenyapkan Mafia Tanah Melalui Adu Data Secara Terbuka

Oleh: Asyari Usman

Ketua Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), Supardi Kendi Budiardjo (SKB), bukan tipe orang yang mementingkan diri sendiri. Dia rela bersusah payah dengan risiko berat demi lenyapnya mafia tanah dan demi tegaknya keadilan.

Pak Budi, begitu dia biasa disapa, sudah sejak lama bisa mendapat uang besar. Kalau dia mau. Ada mafia tanah yang bersedia membayar 200-300 miliar untuk satu hektar tanah yang mereka rampas tetapi dilawan keras oleh Budi.

Mengapa Budi menolak keras tawaran berdamai dengan imbalasan duit besar itu? Tidak lain karena Budi berpikir panjang tentang masa depan Indonesia. Dia tidak mau Indonesia hancur di tangan mafia tanah. Anak-cucu bangsa Indonesia akan tersisih menjadi rakyat yang punya negara tetapi tidak punya tanah.

Inilah yang dipikirkan Pak Budi. Dia tidak ingin para mafioso menguasai tanah Indonesia. Bisakah ini terjadi?

Sangat bisa. Sekarang pun mafia tanah sudah merajalela. Mereka bisa menguasai pilar-pilar penegak hukum Indonesia. Mereka bisa mengatur oknum-oknum di Badan Pertanahan Nasional (BPN), di Polri dan di Kejaksaan. Para mafia juga bisa mendikte para advokat, hakim, dan lembaga atau instansi lain.

Tidak hanya itu. Mafia tanah menggunakan jasa kelompok-kelompok preman untuk melaksnakan pekerjaan lapangan. Preman digunakan untuk intimidasi, penguasaan fisik tanah (menduduki tanah).

SK Budiardjo tidak takut. Sebab, dia memiliki dokumentasi yang cukup lengkap tentang keabsahan pemilikan tanah yang diklaim oleh salah satu perusahaan besar di bidang properti. Yaitu, PT SSA.

Budi punya modal psikologis yang sangat kuat untuk melawan mafia tanah. Sebab, tanah miliknya yang diambil oleh SSA itu memiliki alas hak yang jelas dan sah. Dia membeli dari pemilik yang sah dengan bukti-bukti otentik. Kronologi status tanah yang dikuasai secara sewenang-wenang oleh perusahaan besar itu begitu “clear and clean” (jelas dan bersih) hingga kepemilikannya pindah ke tangan ketua FKMTI itu.

Inilah yang membangkitkan semangat Budi dalam menghadapi cara-cara kotor yang dilakukan oleh SSA. Semua bujukan dan gertakan yang diarahkan kepadanya, dia lawan dengan sikap tegas.

Budi paham segala risiko yang bakal dihadapinya. Namun dia terus maju melawan.

Di FKMTI, Budi punya banyak kawan seperjuangan. Salah satunya adalah Sutarman yang tanahnya dirampas. Tanah milik Pak Tarman seluas 2.5 hektar di Tangerang diambil oleh dua perusahaan yaitu PT SV dan PT STC.

Sutarman bercerita, ayahnya Rusli Wahyudi, membeli tanah yang bersurat girik itu dari seorang warga di kelurahan Lengkong Gudang di Tengerang. Surat girik itu, kata Pak Tarman, dititipkan di kelurahan setempat. Ahli waris kemudian meminta tambahan harga. Terjadilah perselisihan. Tapi pembeli setuju membayar tambahan.

Entah bagaimana, surat girik yang dititipkan di kelurahan itu bisa berubah menjadi sertifikat atas nama PT SV dan PT STC yang sama sekali tidak ada hubungqn dengan pembeli. Sertifikat itu terbit ketika pembeli dan ahli waris penjual masih dalam sengketa yang belum selesai.

Singkat cerita, Pak Tarman akhirnya kehilangan tanah 2.5 hektar itu. Tanpa ganti rugi apa pun. Sampai sekarang, Pak Tarman masih menyimpan bukti-bukti yang sah tentang kepemilikan tanah tersebut.

Banyak keanehan. Ketika pihak perusahaan menunjukkan sertifikat, tidak ada disebutkan batas-batas tanah. Mereka kemudian mengoreksi dan datang dengan batas-batas tanah. Tetapi kali ini ukurannya tidak cocok. Luasnya 22,000 M2. Sedangkan tanah Pak Tarman luasnya 25,000 M2. Lucunya, kata Sutarman, mereka datang lagi dengan koreksi baru yang akhirnya cocok batas-batasnya dan cocok pula luasnya.

Pemerintah harusnya bisa menyelesaikan semua bidang tanah yang bermasalah. Pertama, pemerintah perlu melenyapkan mafia tanah. Kedua, dan ini yang sangat penting, pihak-pihak yang bersengketan harus siap adu data yang mereka miliki.

Adu data ini harus dilakukan secara terbuka di tempat yang netral, dalam hal ini kampus-kampus universitas di Indonesia. Ketua FKMTI Supardi Kendi Budiardjo mengatakan serahkan kepada pihak universitas, khususnya fakultas-fakultas hukum yang memiliki kajian atau jurusan agraria. Biarkan mereka menelaah dan meneliti semua dokumen yang ada di pihak yang mengaku sebagai pemiliki sah dan semua dokumen yang ada di pihak yang mengklaim kepemilikan belakangan.

“Hanya dengan adu data secara terbuka seperti inilah kita semua akan mendapat keadilan,” kata Budi menegaskan.

Menurut Budi, adu data terbuka bisa juga dilakukan dalam siaran langsung di televisi. Silakan para mafia tanah menunjukkan dan mempertahankan dokumen-dokumen mereka. Pasti akan ketahuan mana yang asli dan mana yang asli tapi palsu (aspal), ujar Budi lagi.

Gagasan adu data secara terbuka ini sangat masuk akal sebagai upaya terbaik untuk mengurai sengketa tanah. Publik akan mengetahui apakah korban atau mafia tanah yang benar.

Dengan begitu, kasus-kasus perampasan tanah yang dialami oleh Bu Tri Murti di Balikpapan, Sony Danang di Cibubur, Agusni di dekat TMII, Edwin Tumpamahuk di Tangerang dan Hajjah Zubaidah di Jalarta Timur, plus kasus tanah Budi serta Sutarman bisa diselesaikan tuntas dan adil seadil-adilnya.

Sekaligus, cara ini akan dengan sendirinya melenyapkan mafia tanah dan para kolaborator mereka yang tersebar di berbagai instansi pemerintah.[]

25 Januari 2023
(Penulis Wartawan Senior)