Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memutus perkara sengketa pemilu presiden, di mana sembilan hakim konstitusi memutuskan secara bulat, tanpa dissenting opinion. Putusan MK bersifat final dan mengikat. “Meskipun, ada yang terbukti di persidangan, namun tidak atau belum dapat dinilai pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif, sehingga tidak menyebabkan pemilu cacat hukum atau tidak sah .. Pemohonan I dan II ditolak untuk seluruh”, kata Ketua MK, Mahfud MD, saat membacakan keputusan, Rabu (12/8).
Dengan keputusan MK itu sengketa pemilu presiden selesai, dan pasangan Mega-Prabowo serta JK- Wiranto, menyatakan keduanya menerima keputusan MK. “Meski tidak sejalan dengan yang kami harapkan, kami memahami keputusan MK”, kata Mega di kediamannya, Jalan Teuku Umar, Jakarta. Sementara itu, JK juga menerima putusan MK. “Saya dan Pak Wiranto taat hukum. Saya sampaikan selamat kepada Bapak SBY dan Boediono”, ucapnya. Artinya, SBY-Boediono, mendapatkan mandat dari rakyat dengan dukungan 60 persen suara, keputusan MK yang mengukuhkan kemenangannya, dan tak lupa, pengakuan secara de jure dari Mega-Prabowo dan JK-Wiranto, yang menerima keputusan MK. Inilah episode terakhir, proses politik, pasca pemilu presiden yang lalu.
Momentum berikutnya, ada agenda ke depan, pelantikan anggota legislative, dan presiden-wakil presiden, yang akan berlangsung dibulan mendatang. Tentu, acara yang sifatnya seremonial ini, tidak akan lagi menguras pikiran, seperti sebelum pemilu legislative dan presiden. Bagi Presiden SBY yang akan menapaki kekuasaannya pada periode kedua ini, yang pasti akan membangun pemerintahan yang kuat, dan mendapatkan dukungan parlemen yang solid. Inilah periode berikutnya yang memerlukan langkah-langkah strategis yang akan dihitung.
Pertama, membangun pemerintahan yang kuat, dan dengan figur-figur pembantu menteri, yang memenuhi kriteria, seperti diinginkannya, di mana pada periode kedua ini, Presiden SBY ingin menciptakan kabinet kerja (zaken kabinet), diisi oleh para professional yang memiliki keahlian tinggi dibidangnya masing-masing, tentu dibidang ‘ekuin’ (ekonomi, keuangan, dan industri) akan mendapatkan prioritas dan bidang politik-keamanan.
Tetapi, apakah Presiden SBY dapat menentukan pilihannya sendiri, dan menjadi ‘single’ faktor dalam menentukan susunan kabinetnya di masa yang akan datang? Tentu ada beberapa faktor, yang akan mempengaruhi dalam penyusunan kabinet yang akan datang.
Faktor pertama yang dominan, yaitu kekuatan luar yang mempunyai pengaruh dan kepentingan langsung di Indonesia, dan barangkali dapat dikatakan sebagai ‘The stake holder’. Dan, tak dapat dipungkiri yang paling berpengaruh di Indonesia, tak lain adalah kepentingan Barat, termasuk lembaga multilateral, seperti World Bank, IMF, dan WTO. Porsi yang paling besar dan harus mewakili kepentingan asing itu, mereka yang memegang portofolio di bidang ‘ekuin’, dan haruslah figur-figur yang dapat dikatakan ‘acceptable’ oleh Barat dan lembaga multilateral.
Selama lebih dari tiga dekade, dari rejim Soeharto, hingga kini, selalu pos-pos strategis di bidang ‘ekuin’ selalu dipegang oleh kelompok yang sudah dikenal, yaitu ‘Mafia Berkeley’. Mereka dipercaya dan mendapat mandat, yang seakan ‘abadi’ untuk memegang portofolio itu. Belum ada sepanjang sejarah, sejak rejim Soeharto, hingga kini, pos-pos yang memegang fortofolio dibidang ‘ekuin’, keluar dari kepentingan Barat dan lembaga-lembaga multilateral itu. Apalagi, Indonesia yang membangun ekonomi dengan ‘utang’, dan Indonesia sudah masuk dalam apa yang disebut dengan ‘debt trap’ (jebakan utang).
APBN Perubahan 2009, tertera secara eksplisit cicilan bunga utangnya, mencapai Rp 109 triliun rupiah lebih atau 11 persen dari total APBN. Dan, ini mempunyai relasi dengan ekonomi Indonesia yang sudah dari awal dibangun dengan sistem ‘utang’ alias riba. Setiap tahun APBN Indonesia terus bertambah, dan sekarang jumlah APBN Indonesia sudah lebih dari Rp 1000 triliun. APBN juga selalu defisit, dan untuk menutupi defisit selalu ditambal dengan utang luar negeri. Inilah salah satu faktor yang dominan, mengapa Presiden tidak dapat secara bebas menentukan pilihannya sendiri dalam menentukan figur-figur yang akan menduduki pos-pos dibidang ekuin.
Kedua, pemilu legislative 2009, menghasilkan tiga besar, yang akan menjadi ‘The triangle power’, yaitu Demokrat, Golkar, dan PDIP. Di mana Demokrat mendapatkan suara 20,85 persen, Golkar 14,45 persen, dan PDIP 14,03 persen. Jika digabungkan suara Demokrat, Golkar, dan PDIP, di parlemen suaranya akan mencapai 50 persen suara. Maka, yang paling logis, ke depan, Presiden SBY, pasti menginginkan ‘sharing’ dengan Golkar dan PDIP, agar pemerintahan dapat kuat dan stabil. Termasuk, tidak tertutup kemungkinan dalam penyusunan kabinet nanti, juga kemungkinannya akan terjadi ‘sharing’ di dalam kabinet, yang akan memasukkan orang-orang dari Golkar dan PDIP, atau orang-orang yang di ‘endorse’ oleh Golkar dan PDIP.
Gabungan (koalisi) dukungan di parlemen, melalui ‘sharing’ dengan membagi jatah pimpinan di legislative (DPR) dan (MPR), maka akan dapat mengontrol secara efektif lembaga legislative. Sekarang, sedang berlangsung negosiasi politik, khususnya tiga kekuatan ‘The triangle power’ dalam melakukan ‘sharing’ yang dapat memuaskan semua fihak, dan tujuannya menjamin pemerintahan yang stabil dan efektif lima tahun kedapan, ini akan ditentukan olehpara pemegang ‘The stake holder’ partai politik, yang memiliki suara mayoritas di parlemen, yaitu Demokrat, Golkar, dan PDIP.
Persoalannya, sekarang hanya tinggal menunggu Munas Golkar, yang akan mendudukan Abu Rizal Bakri, menjadi Ketua Umum Golkar, dan menggantikan Jusuf Kalla. Skenario ini persis, seperti ketika tahun 2004, di mana usai Presiden SBY diangkat, langkah yang diambil adalah mendudukkan Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Golkar, menggantikan Akbar Tanjung, di Bali. Sehingga, Jusuf Kalla dapat mengontrol parlemen melalui Golkar secara efektif untuk mendukung seluruh kebijakan yang akan diambil pemerintah.
Dan, tak lama lagi peristiwa politik, pengambilan alih Golkar, melalui Munas, sebelum Oktober ini, dan akan mendudukkan ‘Ical’ sebagai ketua yang baru. Maka, kalau skenario ini berjalan, ke depan sudah dapat dilihat seperti apa, gambaran pemerintahan yang akan datang.
Sementara itu, dari awal sudah ada suara-suara yang menginginkan mendukung dan melakukan koalisi dengan SBY, seperti di Golkar, ‘Ical’, Akbar Tanjung, Agung Laksono, dan Fadel Mohammad. Dan mereka tidak ‘merestui’, ketika JK maju menjadi capres dalam pemilu presiden 2009, yang lalu. Di PDIP, juga terdapat tokoh Taufik Kemas, yang menjadi Ketua Dewan Pembina PDIP, yang dari awal juga menginginkan koalisi dengan Demokrat, dan ingin masuk dalam kabinetnya SBY. Secara emosional baik SBY dan Boediono, keduanya pernah menjabat sebagai menteri di zamannya Presiden Megawati. Jadi wacana yang diangkat oleh Taufik Kemas itu, bukanlah sesuatu yang baru.
Partai-partai yang menjadi pengusung SBY, seperti PKS,PAN,PPP, dan PKB, tidak ditinggalkan oleh Presiden SBY, tapi sudah tidak lagi menjadi faktor strategis dan dominan, karena kepentingan SBY, hanya saat menjelang pemilu presiden yang lalu. Sekarang tugas partai-partai Islam sudah selesai, dan akan tetap diikutkan oleh Presiden SBY dalam pemerintahannya, tapi hanya menjadi faktor komplementer, sebagai tali ‘pengingat’ bahwa partai-partai Islam itu pernah melakukan dukungan kepadanya.
Persoalan masa depan yang dikawatirkan, pemerintahan ini akan menjadi ‘diktator’, karena tidak ada lagi kontrol dari parlemen, karena adanya kesepakatan-kesepakatan antara partai-partai besar, yang disebut sebagai ‘The triangel power’, dan menguasai dan mengontrol parlemen. Hal ini seperti dikatakan pengamat politik, Azzumardi Azra, yang mengkawatirkan dengan koalisi partai-partai besar, dan hilangnya kontrol terhadap pemerintah. Ini akan mirip zaman Orde Baru, tiga pilar kekuasaan Soeharto, yang efektif yaitu Militer (ABRI), Birokrasi, dan Golkar (ABG). Sehingga, selama tiga puluh tahun, Presiden Soeharto dapat efektif berkuasa.
Bagaimana masa depan Indonesia nanti, sangatlah ditentukan nasibnya oleh faktor luar (AS dan lembaga-lembaga multilateral), serta kekuatan politik utama, Demokrat, Golkar dan PDIP, yang menjadi ‘The stake holder’.
Nampaknya, belum ada kekuatan yang dapat menjadi alternative, dan memadai sebagai solusi atas keadaan dan kondisi saat sekarang ini. Dan, Presiden SBY, sementara tetap menjadi faktor yang ikut menentukan jalannya sejarah bangsa Indonesia. Wallahu’alam.
foto : internet