Dengan rapat mendadak Jokowi bersama menteri-menteri tertentu yang menurut Moeldoko menyikapi demo demo tersebut, maka kondisi sebenarnya serius. Ada kekhawatiran aksi semakin meluas dan tentu tak mampu dikendalikan lagi. Seperti yang tercatat dalam memori sejarah aksi berkesinambungan bisa menjatuhkan kekuasaan. Entah pilihan sikap apa yang akan diambil menghentikan proses pembahasan RUU, meminta bantuan pimpinan kampus, atau konsolidasi dan tindakan tegas aparat keamanan. Semua opsi berkonsekuensi.
Nampaknya dari perjalanan kekuasaan menjelang pelantikan 20 Oktober Jokowi tengah menginjak kerikil atau tersandung batu atau pula pening dengan langkah yang terhuyung huyung. Sepatu semakin kotor dan hilang keseimbangan. Lampu hijau berubah menjadi kuning. Berdebar karena sebentar lagi bisa menjadi lampu merah. Tagar turunkan Jokowi pun semakin menjadi topik dengan trend menaik.
Jokowi tidak punya reputasi berkemampuan tinggi mengatasi masalah. Ia selalu menjadi figur yang “safety first”. Mengeles. Hampir tak jelas pola pengambilan keputusan dalam mencari solusi. Kadang adagiumnya adalah menyelesaikan masalah dengan masalah. Akibatnya masalah menjadi bertumpuk. Akhir dari tumpukan adalah pembusukan.
Sikap politik peminggiran ulama dan umat Islam, pelemahan TNI, pengurungan mahasiswa, serta penunggangan aparat penegak hukum menjadi bagian dari pembusukan kekuasaan tersebut. Nah ketika elemen strategis bangsa merasa semakin dikecewakan maka yang terjadi adalah perlawanan.
Mahasiswa kini menunjukkan kebersamaan perasaan dengan rakyat. Berani unjuk diri, unjuk aksi, dan unjuk jiwa berani.
Jika gaung mosi tidak percaya membesar maka lampu kuning Jokowi bisa cepat berubah jadi lampu merah.
Penulis; M. Rizal Fadillah, Aktivis Senior
Bandung, 23 September 2019 (*end)