Lakon “Si Halu dan Si Narsis” Dalam Kisah Donasi 2 T Berakhir

Kemarin secara hampir bersamaan datang konfirmasi pula dari PPATK dan Bank Mandiri yang makin menyudutkan. Kesimpulannya: Uang 2 T tidak ada. Lengkap sudah akhir kisah ini.

Film “Si Halu dan Si Narsis” dibuka dengan adegan upacara penyerahan sumbangan di Mabes Polda Sumsel Senin (26/6). Kapolda, Heryanti, dan Prof DR dr Hardi Dermawan tampil meyakinkan.

Ketiganya berfoto bersama memegang stirofoam bertulisan 2 T sumbangan dari keluarga Akidi Tio.

Prof Hardi cocok dengan perannya sebagai pendengung. Seluruh informasi tentang Akidi Tio bersumber dari Prof Hardi, dokter keluarga mendiang Akidi Tio. Siapa pun yang mendengar dijamin terharu.

Dia aktif sekali memompakan nilai-nilai kedermawanan pasiennya. Dia bisa menangkis ketika wartawan mengcounter  sebagian narasinya.

“Oh ya memang. Almarhum itu type low profile. Menyumbang tidak pernah mau publikasi,” kata dokter itu. Tapi dia tidak menerangkan kenapa sekarang berbeda, justru mempubliksi sumbangannya.

Dalam adegan di Mapolda itu ada juga Gubernur Sumsel Herman Deru, Danrem, dan para pemuka agama semua agama, serta tamu undangan lain. Tetapi perannya kecil, figuran semata, pemanis komposisi gambar.

Irjen Pol Prof DR Eko Indra Heri MM (lahir di Palembang, Sumsel 23 November 1964) adalah seorang perwira tinggi Polri yang sejak 1 Mei 2020 mengemban amanat sebagai Kapolda Sumatera Selatan.

Kariernya di kepolisian termasuk moncer, kenaikan jenjang jabatannya terukur. Mulai dari Kasat I/Pidum Dit Reskrim Polda Sumsel (2003) hingga akhirnya mencapai jabatannya sekarang: Kapolda Sumatra Selatan (2020).

Irjen Eko baru meraih gelar Guru Besar di STK/ PTIK bulan Juni lalu. Suatu kelengkapan yang mumpuni untuk mencapai jenjang kareir lebih tinggi lagi. Itu yang kita sesali mengapa begitu mudah terperdaya oleh narasi pendengung Prof Hardi Dermawan.

Mengapa begitu mudah dihipnotis oleh angka 2 T. Kenapa tidak konsisten menggunakan SOP, kelengkapan standar dalam manajemen.

Tanpa cek & ricek siapa pun mudah tergelincir salah, kejeblos. Apalagi atmosfer di tataran elite memang buruk sekali. Sejak reformasi bertumbuh subur juga bakat-bakat pemimpin palsu.

Reformasi –di mana pejabat dipilih langsung rakyat– menjadi tempat bersemai para pembual.

Mudah sesorang meng-create berbagai drama pencitraan memancing haru dan menguras air mata. Inilah bagian dari perangkap narsisme. Budaya yang berkembang di era digital.

Menurut literatur, budaya itu menonjolkan pola hidup individualis dan memunculkan rasa cinta terhadap diri sendiri secara berlebihan yang mampu berkembang terus-menerus tanpa henti.

Sungguh sangat disayangkan jika Prof Eko terperangkap lakon narsis itu. Lakon Halu dan Narsis dalam dramaturgi film memang dahsyat hasilnya: pertunjukannya mendapat aplusan panjang penonton atau rakyat.

Dramaturgi dicetuskan oleh Erving Goffman pada tahun 1959 yang termuat dalam karyanya berjudul “Presentation of Self in Everyday Life“.

Sebuah teori yang mengemukakan bahwa teater dan drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia.

Dramaturgi dalam konsep Erving merupakan pendalaman dari konsep interaksi sosial, yang menandai ide-ide individu yang kemudian memicu perubahan sosial masyarakat menuju era kontemporer.

Teori dramaturgi muncul sebagai reaksi atas konflik sosial dan rasial dalam masyarakat. Dramaturgi berada di antara interaksi sosial dan fenomenologi.

Wajar jika sepuluh hari masyarakat seperti kerasukan mengikuti  kelanjutan lakon. Termasuk bagaimana kisah akhirnya. Tapi tidak ada lakon yang tidak berakhir.

Manna pelleng punna tallewaki! [RMOL]

 

Ilham Bintang

Penulis adalah wartawan senior. [RMOL]