Oleh Asyari Usman
Modus kecurangan pilpres 2024 ini, macam-macam. Ada yang konvensional dan ada yang dimodifikasi. Ada saja inovasi untuk memastikan agar si penerima uang tidak membelot alias mencoblos yang bukan memberi uang.
Kemarin saya bincang-bincang dengan beberapa orang yang mencatat tindak kecurangan. Ini semakin memperkuat konfirmasi tentang kecurangan yang Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM). Berbagai macam muslihat dilakukan. Tidak ada yang haram bagi yang melakukan.
Kali ini cerita tentang para kepala lingkungan (kepling untuk kelurahan) dan kepala dusun (kadus) untuk desa. Kepling dan kadus adalah strata terendah perangkat pemerintahan. Meskipun terendah, tapi untuk urusan pilpres mereka adalah penentu sukses tidaknya pencurangan.
Merekalah ujung tombak operasi TSM. Sebab, mereka itu langsung bersentuhan dengan setiap warga. Karena itu, menurut para pengamat, banyak kepling dan kadus di Indonesia yang terlibat pencurangan. Dan mereka ikut panen cuan.
Di Medan, para pejabat pemko diduga kuat melakukan operasi untuk memenangkan Prabowo-Gibran. Beberapa sumber mengatakan, mereka itu pada umumnya bekerja diam-diam. Namun, ada juga yang terang-terangan.
Di hari pencoblosan, ada dua cerita tambahan yang cukup lucu tetapi juga memalukan. Cerita pertama, seorang pria membeberkan tindakan pejabat yang diduga mengatur para pekerja yang bertugas sebagai penyapu jalan mencoblos di sejumlah TPS yang bukan tempat DPT mereka.
Mereka itu banyak yang tinggal di kawasan Tanjung Morawa yang menjadi bagian dari Kabupaten Deli Serdang. Mereka terdaftar di DPT Deli Serdang.
Kuat dugaan, mereka dibawa ke Medan untuk mencoblos paslon dukungan penguasa. Tentu saja nama-nama mereka tidak ada di DPT Medan. Sumber kami mengatakan, mereka diduga diselipkan ke sejumlah TPS Medan. Kok bisa? Ya bisalah. Siapa dulu penguasanya.
Para petugas penyapu jalan itu baru dibolehkan pulang ke tempat tinggal mereka menjelang sore. Tujuannya agar mereka tidak bisa lagi mencoblos di TPS asli mereka.
Cerita kedua berjudul “Ingat ya, saya yang ngasih kemarin”. Ini kisah seseorang –kita sebut saja agen— yang mendatangi warga dari rumah ke rumah. Ini terjadi di satu kelurahan yang berada di dalam Kecamatan Medan Amplas.
Si agen dikatakan memberikan uang dan/atau barang kepada warga yang akan memberikan suara. Si agen mengucapkan kata-kata: “Ingat ya, saya yang ngasih kemarin”.
Ucapan ini diarahkan ke orang yang baru sampai di TPS untuk mencoblos. Si agen tampaknya ingin memastikan agar orang itu betul-betul memilih paslon yang diminta. Yaitu paslon yang didukung kekuasaan.
Modus mengingatkan si penerima uang agar memilih sesuai arahan agen, tampaknya terjadi di banyak TPS. Si agen cukup sensitif menyusun ucapannya. Dia hanya mengatakan, “Ingat ya, saya yang ngasih kemarin.” Ucapan ini, seandainya pun terdengar oleh Panwaslu, tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran. Sebab tafsirannya bisa macam-macam. Sumber kami mendengar ucapan yang sangat mudah dipahami itu.
Sebagian orang mengatakan bahwa menyogok pemilih perkotaan yang masuk kategori lapisan bawah bagian atas, tidaklah mudah. Ada aspek nurani. Tetapi banyak pemilih yang tak perduli soal nurani. Yang penting dapat duit.
Banyak pula orang yang menerima sogok akan mencoblos sesuai instruksi agen karena “takut berdosa” jika tidak memilih yang memberi uang.[]
19 Februari 2024
(Jurnalis Senior Freedom News)