Kudeta Konstitusi: Indonesia Menuju Negara Diktator

OLEH: ANTHONY BUDIAWAN*

PENGERTIAN dan definisi diktator adalah kepala pemerintah atau pemimpin politik yang mempunyai kekuasaan absolut, merampas kedaulatan rakyat, kekuasaan diperoleh dengan cara paksa.

Dictatorship adalah negara diktator, menjadi tirani. Yaitu, sebuah negara yang diperintah oleh seorang atau sekelompok kecil diktator.

Karakteristik Negara Diktator

Dictatorships are often characterised by some of the following: suspension of elections and civil liberties; proclamation of a state of emergency; rule by decree; repression of political opponents; not abiding by the rule of law procedures; and cult of personality.

Artinya, penundaan pemilu dan pembatasan kebebasan sipil; pernyataan keadaan darurat; memerintah dengan dekrit; tepresi lawan politik; tidak mematuhi hukum dan konstitusi; dan kultus perorangan.

Dictatorships are often one-party or dominant-party states.

Some dictators have been masters of crowd manipulation, such as Mussolini and Hitler. Others were more prosaic speakers, such as Stalin and Franco.

Typically, the dictator’s people seize control of all media, censor or destroy the opposition, and give strong doses of propaganda daily, often built around a cult of personality.

Artinya, diktator umumnya sangat menguasai bagaimana cara manipulasi massa, seperti Mussolini dan Hitler.

Biasanya, diktator merebut kendali media, menyensor atau menghancurkan oposisi, dan memberikan dosis propaganda yang kuat setiap hari, seringkali dibangun di sekitar kultus perorangan.

Benih-Benih Negara Diktator dan Tirani

Membuat UU bertentangan dengan Konstitusi, seperti terbukti dari hasil uji materi di MK. Contohnya Perppu 1/2020 yang kini menjadi UU 2/2020. Kedua adalah Omnibus Law UU Cipta Kerja.

UU terindikasi bertentangan dengan konsitusi. Seperti penundaan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) 2022 menjadi 2024, UU Ibu Kota Negara, dan presidential threshold.

UU yang ditentang masyarakat luas. Seperti UU KPK.

Pemicu menjadi Negara Diktator

Pertama adalah Penundaan Pemilu 2024. Kedua mengubah masa jabatan presiden dari dua kali menjadi tiga kali untuk kepentingan pemerintah saat ini. [Gelora]

(*Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)