Kritis di Tengah Hipokrisi Demokrasi

Kisah duo Umar di masa kejayaan Islam bisa kita jadikan contoh gambaran sikap penguasa dalam menghadapi kritik. Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz. Dikisahkan Umar bin Khattab pernah bertutur kepada sahabatnya, “Aku sedang dihinggapi ketakutan jika sekiranya aku melakukan kemungkaran lalu tidak ada orang yang mengingatkan dan melarangku karena segan dan rasa hormat kepadaku.”

Kisah serupa terjadi pada Umar bin Abdul Aziz.  “Wahai amirul mu’minin, apakah gerangan yang mendorong Anda untuk membaringkan diri di siang hari ini?” tutur putranya. “Aku letih dan butuh istirahat sejenak.” “Pantaskah engkau beristirahat, padahal masih banyak yang teraniaya?”, tambah Sang putra. “Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu. Nanti usai zhuhur aku akan kembalikan hak-hak orang yang teraniaya.” “Wahai amirul mu’minin. Siapakah yang dapat menjamin Anda hidup sampai zhuhur jika Allah mentakdirkan mati sekarang?” “Segala puji bagi Allah yang telah mengkaruniakan kepadaku anak yang telah membuatku menegakkan agama ini.”

Islam memandang menjadi pemimpin adalah ujian yang berat. Sebab penguasa rawan untuk bertindak dhalim demi memuluskan kepentingan yang senantiasa menggelayut. Bagi penguasa yang tidak mengikatkan diri pada hukum Islam erat-erat, potensi kesewenang-wenangan sangatlah besar. Hal ini akan mengubah penguasa sebagai rain dan junnah bagi ummat menjadi raja yang dhalim. Pentingnya kritik pun ditegaskan oleh Rasulluah SAW, sehingga apresiasi gelar yang diberikan adalah penghulu syuhada’

Pemimpin para syuhada’ adalah Hamzah bin Abdil Mutallib dan seseorang yang berdiri di hadapan seorang imam yang dhalim lalu orang itu memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, lalu Imam itu membunuhnya” ( HR. Tirmidzi dan Al Hakim)

Demokrasi berbasis kepentingan manusia, dan kritik dipandang sebagai perongrong kepentingan. Sikap hipokrit yang dibawa demokrasi sesungguhnya adalah sifat bawaan, maka menghilangkan hipokrisi demokrasi adalah hal yang mustahil. Berbeda dengan Islam yang berbasis tuntunan wahyu, kritik adalah bagian dari penjagaan pelaksanaan wahyu. Islam memberi ruang yang cukup demi penjagaan pelaksanaan wahyu, bukan demi kepentingan (segolongan) manusia. Itulah mengapa, amar ma’ruf nahy mungkar adalah kewajiban, termasuk pada penguasa dan segala kebijakannya.

Tulisan : Dessy Fatmawati