Kritis di Tengah Hipokrisi Demokrasi

eramuslim.com

Penguasa dan kritik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kritik (KBBI) sendiri adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan sebagainya. Sedangkan dalam Wikipedia Indonesia, kritik adalah masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi atau membantu memperbaiki pekerjaan.

Adanya kritik dan sikap kritis  dari suatu elemen pada dasarnya adalah mekanisme alami dalam sebuah proses. Semakin rumit dan kompleks semakin membutuhkan kritik, kontrol dan evaluasi untuk menjaga  eksistensi proses. Ini juga berlaku bagi proses penguasa menjalankan pemerintahannya.

Apalagi sistem pemerintahan demokrasi  tegak dari salah satu pilar kebebasan, yakni kebebasan berpendapat. Secara teotitis demokrasi memberi ruang yang hampir tidak terbatas pada ruang kritik. Anehnya yang terjadi sebaliknya, sejarah justru membuktikan betapa hipokritnya demokrasi akan kritik. Kritik hanya bisa tetap jalan selama tidak mengusik kepentingan pemegang kekuasaan sesungguhnya, para kapitalis.

Cacatnya demokrasi ternyata telah diprediksi oleh cendekiawan pengusung demokrasi di negeri asalnya. Charles Bukowski menyatakan, “The different between a democracy and a dictatorship is that in a democracy you vote first and take orders later. In a dictatorship you don’t have to waste your time voting“. Augusto Pinochet juga menyatakan, “Sometimes democracy must be bathed in blood

Sesungguhnya, ajaran Islam , yang selalu dianggap ‘radikal’ dalam iklim demokrasi, justru menawarkan konsep ‘kritik’ dan peran penguasa dengan lebih baik. Islam memiliki point of view yang unik dalam memandang kritik. Jika demokrasi tegak diatas pilar kebebasan berpendapat namun hipokrit ketika menghadapi kritik anti penguasa, Islam tegak atas wahyu dimana ruang kritik diapresiasi tanpa harus tunduk pada penguasa.