Krisis Berkarat yang Membuat Sekarat

Oleh M. Rizal Fadillah – Pemerhati Politik dan Kebangsaan

 

Mahfud MD menilai masalah kenegaraan kini cukup berat, mengerikan narasinya, maka perlu orang kuat yang mampu melakukan terobosan. Tidak jelas maksud membandingkan dengan negara Amerika Latin yang sudah pasti mengambil langkah kudeta atas situasi seperti ini. Namun substansinya adalah bahwa situasi pengelolaan negara sudah parah sekali.

Kegagalan menciptakan harmoni dan integrasi nasional bisa jadi akibat pola devide et impera antar golongan dan agama. Sementara korupsi seperti dibudayakan. Penindakan pun dilakukan dengan sarat muatan politik untuk memperkuat posisi tawar antar elemen oligarki. Konsekuensinya adalah “tebang pilih” dan “rekayasa hukum” dari proses awal hingga ruang pengadilan.

Gambaran yang dikemukakan oleh Menkopolhukam tersebut cukup pas untuk mengkonfirmasi bahwa Indonesia sedang mengalami krisis berat. Masalahnya apakah hal ini merupakan krisis sesaat atau memang kulminasi dari proses yang berjalan lama dan bertahap hingga menjadi berkarat ?

Tentu berkarat. Sejak Pemerintahan Jokowi menunaikan amanat. Kita coba tutup mata periode 2014-2019. Proses pembusukan atau perkaratan itu cukup dibaca 3 tahun masa pemerintahan terakhir dengan prestasi yang menyedihkan.

Pertama, diawali dengan politik licik kompetisi untuk mempertahankan kursi. Presidential Treshold 20  % dan tidak non aktif sebagai Presiden adalah modal utama. Lanjut dengan dugaan kecurangan kotak suara kardus, otak atik angka dan pengukuhan hukum MK yang dipimpin oleh adik ipar Presiden saat ini.

Kedua, tangan berdarah dan pelanggaran HAM. Pembunuhan sekurangnya 9 peserta aksi di depan Bawaslu, penembakan mahasiswa demo UU KPK, pembantaian 6 anggota laskar FPI, serta pembunuhan dokter Sunardi difabel yang tidak berdaya. Kesalahan hukum dicari-cari dan dipaksakan dalam kasus Kivlan Zen, HRS, Munarman, Syahganda, Jumhur, Anton Permana, Eddy Mulyadi, Farid Okbah, dan lainnya.