by M Rizal Fadillah
Setelah Golkar mendukung Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo, maka deklarasi Koalisi Indonesia Maju untuk pasangan Prabowo Gibran akan segera dilakukan yang berlanjut pada pendaftaran ke KPU. Majunya Gibran membenarkan sinyalemen bahwa Putusan MK adalah pembuka pintu. Sulit membantah peran besar dari Mahkamah Keluarga tersebut. MK adalah pendosa besar.
Gibran sebenarnya bukan solusi bagi Prabowo. Semua sudah faham pilihan pada Gibran hanya bertumpu pada faktor Jokowi bukan kapasitas atau elektabilitas. Gibran tidak memiliki basis dukungan partai maupun organisasi kemasyarakatan. Tingkat kematangan berpolitik juga rendah. Prabowo yang sudah “jatuh hati habis” pada Jokowi merasa perlu menarik Gibran sebagai pasangannya.
Menjadi fenomena politik menarik bahwa figur politik berpengalaman seperti Airlangga, Zulhas, Yusril atau SBY dengan mudah menyepakati kontroversi ini. AHY yang dahulu ngotot ingin menjadi Cawapres begitu sunyi kini. Begitu juga dengan Yusril yang percaya diri akan terpilih seperti menunduk terdiam. Semua bertekuk lutut pada sang Raja dan Putera Mahkota.
Prabowo jumawa pada sukses merebut Gibran seolah berhasil mendapatkan Jokowi. Sementara Jokowi merasa bahagia karena sang pangeran dapat menjadi Cawapres dengan menyingkirkan tokoh yang lebih pantas seperti Airlangga, Erick Thohir, Yusril ataupun AHY sendiri. Nampaknya tidak sia-sia kerja adik ipar sebagai Ketua Mahkamah Keluarga.
Sesungguhnya di tengah kebahagiaan atau mungkin harapan dari Partai Gerindra, Golkar, PAN dan lainnya, kehadiran dan penetapan Gibran sebagai Cawapres Prabowo adalah bencana. Gibran bagai kotak pandora yang terbuka. Masalah besar yang tidak diinginkan sedang mengancam. Seperti berharga tetapi sebenarnya musibah.
Pertama, bagi Prabowo sendiri ini adalah “kutukan” dari pendukung dahulu yang merasa tersakiti atau terkhianati. Tanpa diduga ternyata ada kiriman “Gibran” anak kecil yang diorbit paksa oleh bapak. Gibran bukan penguat atau akselerator tetapi beban berat bagi Prabowo. Citra “Singa” Prabowo semakin terkikis. Bualan survey berfakta hanya sekelas Gibran.
Kedua, bagi partai-partai politik yang sepakat Gibran sebagai Cawapres adalah bukti adanya sihir atau jampi-jampi yang membuat pimpinan partai kehilangan akal sehat, berfikir pendek, pragmatis dan kehilangan idealisme. Di depan konstituen partai-partai politik tersebut akan ambruk. Mungkin terjadi perpecahan.
Ketiga, Gibran menjadi suntikan perseteruan tajam Megawati dengan Jokowi. Balas dendam Jokowi menyakitkan hati. Bukan hanya ia tidak loyal tetapi sama saja Jokowi telah mengumumkan perang. Perang dengan memanfaatkan Prabowo bertameng Gibran. Wajah culun yang mampu memerahkan muka Mega.
Keempat, Gibran menjadi penyakit bangsa dan pencemar politik etik. Nepotisme atau politik dinasti terbukti. Jokowi membuta babi. Berjuang untuk melindungi diri pasca lengser nanti. Sesungguhnya publik menilai bahwa Jokowi salah kalkulasi dikira Gibran adalah penyelamat padahal bom bunuh diri.
Kelima, menciptakan negara bagai istana boneka. Mengurus bangsa dengan bermain-main. Rakyat hanya diposisikan sebagai penonton yang disuruh bertepuk tangan, bersedih atau berteriak. Panggung hanya milik pemain atau boneka-boneka itu. Gibran mengisi ruang “negara cemen” dan “negara fantasi”.
Kotak pandora Gibran adalah menyebarkan khayalan untuk menjadikan Indonesia seperti negara Korea Utara. Dinasti Kim yang berkuasa dari Kim Il Sung kepada Kim Jong Il dan kini Kim Jong Un. Nah mungkin Jokowi sedang menyiapkan Jan Ethes untuk pemimpin berikut he he hee
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 24 Oktober 2023