Koruptokrasi dan Sakararul Maut KPK

Sebagai anak kandung reformasi, peran simbolik KPK untuk merawat semangat demokratisasi, tata kelola pemerintahan yang baik, serta penegakan hukum dan hadirnya (rasa) keadilan di tengah-tengah masyarakat, tidak relevan lagi. Yang tersisa, hanya mayat lembaga pemberantasan korupsi.

Kalaupun 75 pegawai (yang diskenariokan tersingkir oleh pimpinan KPK melalui TWK) bergabung menjadi ASN, tidak akan menyelamatkan nyawa lembaga anti-rasuah ini. Paling jauh, para pegawai yang dikenal berintegritas ini bisa membantu “pernapasan buatan” untuk KPK, tetapi tidak akan bertahan lama. Selanjutnya, mereka ikut mengusung keranda mayat KPK menuju tempat peristirahatan terakhir.

Di akhir tulisan ini, perlu digarisbawahi, untuk memberantas korupsi yang sangat sistemik dan luas, penegakan hukum melalui KPK yang kuat dan independen sekalipun, tidak cukup. Selama ini, KPK lebih banyak menjalankan peran pemadam kebakaran, sementara fungsi pencegahan tidak maksimal.

Sehingga, dibutuhkan kemauan politik negara untuk mengurai akar kejahatan luar biasa ini, di tingkat hulu, yaitu politik kekuasaan yang sangat kumuh. Kemudian, melakukan pembenahan secara radikal dan menyeluruh.

Hal tersebut dapat terwujud, jika rakyat, terutama kaum intelektual dan kelas menengah, memiliki kesadaran dan keberanian politik untuk memotong titik episentrum rezim koruptokrasi.[sumber; FNN]

Penulis: Abdurrahman Syebubakar, Ketua Dewan Pengurus IDe