Koruptokrasi dan Sakararul Maut KPK

Selain peletakan KPK dalam rumpun kekuasaan eksekutif (termasuk konversi pegawainya menjadi ASN), UU hasil revisi memandatkan dibentuknya Dewan Pengawas yang memangkas kewenangan pokok KPK terkait penyadapan, penyidikan, penuntutan, dan sejumlah prosedur yang merumitkan proses penindakan. Akibatnya, KPK terbelenggu dan tidak dapat bekerja dengan baik.

Tak ayal, korupsi makin luas dan buas, di masa rezim koruptokrasi Jokowi jilid I dan II. Terjadi lonjakan kasus korupsi selama beberapa tahun terakhir.

Dari rekap data tindak pidana korupsi KPK (2020), antara 2015 dan 2019, tercatat hampir 600 kasus, lebih dari dua kali lipat jumlah kasus korupsi selama lima tahun sebelumnya.

Sebelum pandemi Covid, menjelang Pilpres 2019, terungkap kasus mega skandal Jiwasraya dan Asabri, yang melibatkan elit politik di lingkaran kekuasaan, dengan kerugian negara tidak kurang dari Rp. 38 triliun. Skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia merdeka.

Di saat rakyat makin menderita akibat salah urus negara dan dampak negatif Covid-19, para koruptor berpesta pora menjarah uang negara. Sebut saja korupsi Bansos oleh eks Mensos Juliari Batubara, Wakil Bendahara Umum PDIP, yang memotong sekitar 40% dari Rp. 6,8 triliun total anggaran Bansos Sembako Jabodetabek. Belum menyebut potensi korupsi program-program bansos nasional dengan anggaran ratusan triliun.

Sekitar dua minggu sebelumnya, pada akhir November 2020, eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari Gerindra terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK atas gratifikasi izin ekspor benih lobster, dibantu kader partai banteng.

Masih panjang daftar skandal korupsi era rezim koruptokrasi Jokowi yang banyak melibatkan elit politik, baik di pusat maupun daerah.

Pada saat yang sama, dalam Laporan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) global 2020, skor IPK Indonesia anjlok dari 40 menjadi 37, membuat posisinya merosot 17 peringkat, dari 85 menjadi 102 di antara 180 negara. Posisi Indonesia berada di bawah Timor Leste dan Etiopia.

IPK merupakan indeks agregat untuk mengukur tingkat persepsi korupsi sektor publik, berdasarkan penilaian para pakar dan survei eksekutif bisnis, dengan rentang skor antara 0 dan 100. Skor 0 berarti sangat korup, sementara 100 berarti sangat bersih dari korupsi (Transparency International, 2020).

Anjloknya IPK Indonesia di era rezim koruptokrasi Jokowi menunjukkan penyuapan, dan pencurian dana publik oleh pejabat negara dan politikus makin luas. Juga menggambarkan absennya kemauan politik negara dalam pemberantasan korupsi.

Memang, tak dapat dipungkiri, keberadaan KPK tidak berbanding lurus dengan berkurangnya kasus korupsi di Indonesia. Sejak lembaga anti-rasuah ini berdiri pada 2002, insiden korupsi bukan saja tidak turun, justru meningkat dengan volume kerugian negara yang makin besar.