Koruptokrasi dan Sakararul Maut KPK

Sebut saja pertanyaan soal doa qunut dalam sholat subuh, kesediaan lepas jilbab, pendapat tentang kasus HRS, pandangan terkait seks bebas, kenapa belum menikah, punya hasrat seks atau tidak, setuju tidak homoseksual diberikan hukuman badan, rela tidak jadi istri kedua, setuju tidak semua China sama saja dan semua orang Jepang itu kejam, dan berbagai pertanyaan absurd lainnya.

Apa hubungan doa qunut atau jilbab dengan wawasan kebangsaan dan semangat nasionalisme? Apa relevansi hasrat seks dengan ASN? Apa pula kaitannya dengan pemberantasan korupsi?

Sejatinya, TWK hanya kedok untuk menyingkirkan kelompok di KPK yang selama ini dikenal berintegritas dan menjadi algojo para koruptor kelas kakap. Mereka tidak terbeli uang dan jabatan. Pun tidak tunduk pada tekanan penguasa dan pengusaha.

Perlu dicatat, integritas para algojo koruptor akan terjaga jika habitat institusional mereka, yaitu KPK, tetap independen. Tidak menjadi bagian pemerintah, atau minimal, pegawai KPK tidak dikonversi menjadi ASN. Sebab, status ASN, dapat menghalangi mereka untuk bertindak obyektif dan tegas terhadap para penyelenggara negara yang terjerat kasus korupsi.

Saya sendiri sangat marah, namun tidak terkejut sama sekali, dengan amputasi KPK. Sebaliknya, saya kaget seandainya KPK diperkuat oleh rezim Jokowi, dengan meluasnya represifitas dan korupsi sekaligus.

Alasannya sederhana, tidak butuh literasi politik canggih untuk memahami kondisi paradoksal ini.

Lahir dari rahim politik transaksional, di bawah kendali para pemodal, dan selanjutnya sesak dengan para pialang dan petualang politik, hampir tidak mungkin rezim Jokowi memiliki keberanian memberantas korupsi.

Sebaliknya, rezim menjelma jadi koruptokrasi, di mana kekuasaan berada di tangan para penyelenggara negara korup dalam naungan sistem/kelembagaan politik ekstraktif. Sistem ini, menurut Daron Acemoglu dan James A Robinson, menghisap sumberdaya negara untuk kepentingan kekuasaan dan ekonomi segelintir elit di atas penderitaan rakyat banyak (Why Nations Fail 2012).

Rezim koruptokrasi berlindung di balik otoritas institusional untuk menutupi tindak kejahatan korupsi di dalam tubuhnya, dan menghancurkan setiap yang berusaha membongkarnya (Yasraf A. Piliang, Kompas, 2012).

Dus, alih-alih memperkuat, rezim koruptokrasi Jokowi justru melumpuhkan KPK secara sistematis sejak awal berkuasa, melalui skenario kriminalisasi Ketua Abraham Samad dan Wakil Ketua Bambang Widjojanto pada tahun 2015.

Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, pada April 2017, hingga kini menjadi misteri. Rezim koruptokrasi Jokowi enggan mengusut tuntas dan membuka otak di balik penyerangan sadis ini. Hanya pelaku lapangan, diduga pemeran pengganti, yang dihukum ringan.

Keseriusan dalam pemberantasan korupsi semakin muskil dengan banyaknya kalangan internal rezim koruptokrasi Jokowi tersangkut kasus korupsi. Terlebih, kelompok parpol pendukung, terutama PDIP, menjadi sarang koruptor.

Dan upaya melumpuhkan KPK terus berlanjut dalam bentuk yang lebih sistemik dan sistematis dengan lahirnya Undang-undang KPK nomor 19 tahun 2019 hasil revisi.