Korupsi, Oligarki, dan Runtuhnya Kekuasaan

Oligark (oligarch) adalah aktor yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang digunakan untuk mempertahankan kekayaan (wealth defense) atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya. Jadi Oligarki itu sesungguhnya politik pertahanan dan politik penumpukan kekayaan oleh segelintir orang yang memiliki kekayaan material dan secara sosial ekslusif. Pemaknaan ini kemudian menghasilkan bentuk-bentuk oligarki yang tidak tunggal ( Winters,2011: 10). Jadi oligarki ini soal kerakusan segelintir elit ekslusif untuk terus mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material sehingga terus mengendalikan kekuasaan.

Bagaimana korelasi oligarki, korupsi dan runtuhnya kekuasaan bisa terjadi?

Ketika kekuasaan dengan mudah dikendalikan oligarki setidaknya ada tiga hal utama yang akan rusak. Mari kita urai dulu dampak dominasi oligarki ini. Pertama, praktik politik rusak. Etika dan politik kenegarawanan disingkirkan, diabaikan bahkan dilecehkan. Dinasti politik tumbuh subur, karena oligarki senang beternak anak bau kencur dari penguasa istana menjadi penguasa-penguasa lokal yang disiapkan untuk masuk istana dikemudian hari.

Kedua, demokrasi rusak. Sebab oligarki berkepentingan melindungi aset sumber daya materialnya, sehingga segala sesuatu yang mengancam keselamatan asetnya harus dihentikan. Maka jangan heran jika ada aktivis yang mengkritik oligarki dengan segera dilaporkan ke kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik. Itu yang terjadi pada Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Pembungkaman oleh aparat terjadi bertubi-tubi melalui penggunaan pasal karet UU ITE. Akibatnya indeks demokrasi Indonesia memperoleh skor terendah sepanjang 14 tahun terakhir, hanya mendapat skor 6,30, dengan skor kebebasan sipil 5,59 (The Economist, 2021) dan indeks kebebasan internet 49 (freedomhouse,2021).

Ketiga, korupsi merajalela. Oligarki yang menggurita dengan leluasa membeli politik elektoral. Membiayai pemenangan politik secara besar-besaran. Akibatnya politisi dibawah kendali oligarki yang turut mendorong praktik koruptif. Data KPK menunjukan bahwa 60 % koruptor adalah politisi. Pola transaksional politik dengan bisnis seringkali terjadi. Para oligarki menginginkan kemudahan akses bisnis dengan pembiayaan negara, para oligarki juga mengintervensi pembuatan regulasi yang menguntungkannya, bahkan bisa memerintah penguasa untuk melakukan apapun demi kepentingannya. Mereka mengabaikan kepentingan nasional, mengabaikan nasib rakyat banyak. Para oligarki seperti ini disebut oligarki predator, rakus, menguasai segala hal. Parahnya istana menikmati kepongahan oligarki ini dengan melemahkan KPK, mengesahkan UU Minerba dan UU Omnibuslaw Ciptaker. Ya jika itu yang terjadi maka ada benarnya jika istana negara berubah nama menjadi istana oligarki.

Rakusnya para oligark predator yang membuat hilangnya moral politik, rusaknya demokrasi dan merajalelanya korupsi adalah tanda-tanda paling nyata dari menjelang runtuhnya kekuasaan dibanyak episode peradaban. Amuk masa dan konflik sosial seringkali menyertai situasi itu. Episode runtuhnya Monarki Eropa pada abad ke-18 (1789) seperti yang terjadi pada peristiwa Revolusi Perancis, bahkan runtuhnya penguasa republik di wilayah Asia hingga akhir abad 20 (kasus Philipine, Indonesia) dan awal abad 21 (kasus Mesir dll) adalah fakta historis yang tidak bisa diabaikan sebagai pelajaran berharga, bahwa korupsi dan dominasi oligarki yang jahat (predator) bisa menjadi pemicu paling berbahaya dari kejatuhan kekuasaan. Bagaimana dengan Indonesia saat ini?

Wallahua’lam.[FNN]

* ) Penulis: Ubeidillah Badrun, Pengamat Politik UNJ