“Pak Abdullah,” sapanya pada suatu kesempatan di mushallah lantai 6. “Seumur hidup, baru di KPK, saya shalat berjamaah empat kali sehari.” Teringat, yang usul agar pengajian bada shalat dzuhur dari dua kali menjadi tiga kali sepekan adalah pegawai dari Kepolisian dan Kejaksaan.
Beberapa bulan setelah usul tersebut dilaksanakan, mereka usul agar “di setiap lantai, bada shalat ashar, kita baca kitab.” Saya terharu mendengar usul tersebut. Mulailah di lantai 6, bada shalat ashar berjamaah, saya membaca satu dua hadis dari Bhulughul Maraam. Tamat, saya teruskan dengan Nailul Authar. Kedua kitab ini diprioritaskan karena berhubungan dengan hukum.
Terakhir, sebelum pensiun, saya membaca Riyadush Shalihin. Sewaktu sudah purna bakti dan ada cara di KPK, saya diajak shalat ashar berjamaah di mushalla yang sama, lantai 6. Ternyata, tradisi yang saya tinggalkan, masih berlanjut. Mereka membaca kitab sirah Nabi Muhammad.
KPK sudah berumur 16 tahun dan puluhan alumninya yang kembali ke Kepolisian dan Kejaksaan. Mengapa masih ada kasus di Bareskrim seperti itu? Jawabannya, reformasi birokrasi belum berjalan dan keteladanan pimpinan yang hilang. Semuanya bermuara dari integritas. Apakah ada hubungan di antara Brigjen PU, pembuatan KTP-el, paspor, PK di PN Jaksel, dan pertemuan Presiden dengan adiknya Djoko Tjandra di Papua Nugini? Biarlah Kompolnas yang mengusutnya. Semoga ! (end)
( Penulis: Abdullah Hehamahua, Penasihat KPK 2005-2013)