Mungkin juga tidak ada kordinasi antarinstansi terkait sehingga Djoko bisa leluasa memiliki KTP-el, datang ke Pengadilan, dan membuat paspor tanpa ditangkap. Bahkan, menurut Jurubicara Ditjen Imigrasi, Arvin Gumilang, Djoko tidak pernah tercatat masuk ke Indonesia.
Ada dua kemungkinan. Pertama, Djoko masuk Indonesia tanpa melalui imigrasi. Beliau bisa melalui jalan tikus di perbatasan Papua Nugini dan Papua. Kedua, Djoko masuk Indonesia dengan menggunakan nama lain sehingga tidak terdeteksi di imigrasi.
Apalagi, imigrasi sudah menghapus nama Djoko dari daftar pengawasan pada 13 Mei lalu. Alasannya, interpol sudah menghapus status red notice untuk Djoko. Arvin menyebut pihak imigrasi baru menerbitkan status cekal untuk Djoko, 27 Juni lalu, setelah kejaksaan memasukkan nama buron itu ke DPO.
Simpulan pertama, kelalaian Kejaksaan yang membiarkan nama Djoko terhapus dalam senarai DPO. Ada KKN? Pejabat atau karyawan yang tidak berintegritas? Tanyakan ke rumput yang bergoyang.
Bencana baru menimpa dunia penegakkan hukum Indonesia ketika terpublikasi berita, Djoko mendapat surat jalan dari Bareskrim (18 Juni) untuk meninggalkan Jakarta menuju Pontianak.
Aneh bin ajaib, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang pengadilan PK bagi seorang buron, 29 Juni 2020. Apakah pejabat PN tidak tahu kalau Djoko seorang buron? Ada KKN atau pegawai PN yang tidak berintegritas? Tanyakan ke rumput yang bergoyang.
Anehnya lagi, Jaksa Agung mendapat informasi kalau Djoko sudah berada di Jakarta selama 3 bulan. Lagi-lagi masalah integritas aparat penegak hukum menjadi taruhan. Terbayang kenangan, bagaimana SOP, Kode Etik, dan Peraturan Kegawaian KPK menjadi “malaikat” pengawas dalam balutan integritas setiap insan KPK.
Tangkap Jenderal Polisi
Pertama kali mengikuti Rapim KPK (Maret 2005), saya mengusulkan agar ditangkap beberapa jenderal polisi, baik yang di Mabes maupun Polda. Sebab, KPK Hong Kong memulai debutnya dengan menangkap jenderal polisi. Namun, sanggah seorang komisioner, “Jaksa Hong Kong relatif baik dan hakimnya diimpor dari Inggeris. Indonesia, ketiga lembaga tersebut bermasalah sehingga tidak bisa meniru pola KPK Hong Kong,” katanya.
Saya terdiam. Kalau begitu, gaji kepolisian dinaikkan minimal 100 persen. Sebab, salah satu penyebab korupsi di kalangan PNS, termasuk instansi penegak hukum adalah gaji yang sangat rendah.
Candaan saya ketika menjadi narasumber di Bimtek DPRD dan Kementerian tertentu: “PNS yang jujur akan mengalami ‘kematian’ tiga kali dalam sebulan. Sebab, gaji PNS hanya cukup untuk 10 hari.” (SBY setiap tahun menaikan gaji PNS secara gradual sebagai respons atas rekomendasi KPK).
Kemenkeu dalam merespons sikap KPK menyatakan, keuangan negara tidak mampu untuk menaikan gaji kepolisian sebesar 100 persen. Sebab, jumlah mereka relatif banyak. Hal yang sama juga berlaku terhadap Kejaksaan.
Akhirnya, kebijakan Komisioner KPK (jilid 1), peningkatan gaji PNS dimulai dari para Hakim. Filosofinya, jika bola kejahatan dapat menembus pertahanan kepolisian dan kejaksaan, maka Hakim sebagai penjaga gawang keadilan terakhir, dapat menangkapnya.
Apalagi, jumlah Hakim dan Panitera relatif kecil sehingga bisa ditanggulangi APBN. KPK pun menetapkan tiga instansi sebagai pilot project: Kemenkeu, MA, dan BPK. Filosofinya, jika bendahara negara kelaparan, uang rakyat dapat dicuri. BPK sebagai eksternal auditor perlu diamankan ‘perut’ mereka sehingga bisa independen dalam mengaudit keuangan negara.