Aturan main menyebutkan bahwa partisipasi TNI dalam penegakan keamanan dalam negeri, bersifat perbantuan alias diundang. Penjuru untuk urusan ini adalah Polri. Maka, jika diminta ya berangkat, tapi bagaimana jika tidak diminta?
Tadi saya sebutkan bahwa Perpres menyebut Koopsus ini dibentuk dalam rangka mendukung tugas pokok TNI. Tugas yang mana? Tentunya tugas yang diatur dalam UU No. 34/2004 pasal 7 (2) huruf b. tentang operasi militer selain perang mulai angka 1 hingga angka 14.
Masalahnya, tugas itu jelas-jelas bersentuhan dengan UU No. 2/2002 pasal 13 yang menyebutkan bahwa memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dengan rincian disebut pada pasal selanjutnya, adalah tugas pokok Polri.
Walaupun sebenarnya tugas TNI tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 7 (3) dinyatakan dilaksanakan berdasar kebijakan dan keputusan politik Negara, namun menurut saya persentuhan tugas tersebut memerlukan adanya pengaturan yang jelas dan rigid.
Sejauh ini, urusan undangan alias perbantuan pada Polri masih mengandalkan kearifan Kapolri, bisikan tetangga dan arahan dari pejabat senior. Payung hukumnya juga abu-abu. Tak ada ukuran, indikator, parameter, atau apapun sebutannya, yang bisa menunjukkan kapan dan dalam situasi seperti apa TNI bisa diperbantukan atau dimintai bantuan.
Nota Kesepahaman antara Panglima TNI dan Kapolri juga tak cukup jelas merinci urusan ini. Itupun masih harus kita imbuhi catatan: jika nota kesepahaman dapat disebut sebagai payung hukum.
Maka menurut saya, agenda berikutnya adalah pemerintah segera merumuskan soalan tugas perbantuan TNI ini dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sekurang-kurangnya berupa peraturan pemerintah, syukur jika bisa segera dalam bentuk Undang-Undang.
Namun perumusannya harus dilakukan cermat dan hati-hati. Ingat, salahsatu alasan pemisahan Polri dari TNI adalah untuk memastikan “criminal justice system” bisa berjalan sebagaimana mestinya, memiliki demarkasi yang jelas dengan angkatan bersenjata dan menjamin tegaknya prinsip-prinsip hak azasi manusia dan demokrasi.
Tanpa itu semua, saya khawatir jika Koopsus TNI ini kemudian sekadar ibarat anjing herder dengan tali kekang. Gagah, bertaring tajam, gonggongannya serem, pakan dan perawatannya mahal namun cuma terkungkung di halaman rumah.
Atau justru sebaliknya –dan ini yang jadi kekhawatiran– gelaran Koopsus malah menjadi potensi benturan baru antara TNI dan Polri dalam urusan keamanan dan pengamanan. Gerak cepat pembentukan Koopsus TNI, menunjukkan ada ambisi kuat untuk segera operasional.
Kita juga paham, sulit membayangkan patriotisme dan heroisme militer hadir tanpa antusiasme tinggi dan kepeloporan. Saya khawatir jika tak segera diatur, itu akan membawa kita pada situasi yang buruk.
Saya sering mengingatkan, taruhlah rezim saat ini adalah yang terbaik dan berani menjamin bahwa segala sesuatunya akan berjalan positif. Masalahnya, siapa bisa menjamin di masa depan akan tetap seperti itu? Padahal sebaik-baik rezim, usianya hanya 2×5 tahun. Reformasi ini dibangun dengan airmata, keringat dan darah rakyat, janganlah dikhianati.
Selamat datang dan bekerja Koopsus TNI. Semoga negeri ini senantiasa aman, damai, sentosa! [end]
*) Penulis: Kaula Fahmi, Peneliti di Institute for Security and Strategic Studies