Oleh: Shamsi Ali
Ada yang mengirimkan pesan ini ke saya: “Bung, yang konsisten dong. Anda dulu kan dukung Prabowo. Kok sekarang loncat?”.
Respon saya: Konsisten itu hanya ada pada satu hal: Perubahan ke arah benar dan yang lebih baik. Di tahun 2014 saya dukung Jokowi-JK.
Di tahun 2019 saya dukung Prabowo-Sandi. Sekarang saya dukung Anies karena “nilai” perubahan itu ada sama paslon Amin saat ini”.
Perubahan itu menjadi tuntutan boleh jadi karena memang itu adalah tuntutan alam. Artinya kehidupan ini memang mengalami perubahan dan menjadi tanggung jawab kita untuk mengawal perubahan itu ke arah yang benar dan manfaat.
Perubahan juga boleh karena memang menjadi tuntutan situasi yang cenderung memburuk dan mengharuskan perubahan.
Dalam konteks keindonesiaan kita saya melihat aspek kedua ini menjadi pertimbangan dominan. Itulah yang terjadi dengan dukungan saya sejak tahun 2014 hingga kini.
Dukungan dan pilihan saya sejak itu terbangun di atas nilai dan semangat untuk menghadirkan perubahan akibat keadaan yang tidak baik-baik saja.
Di tahun 2014 saya mendukung dan memilih Jokowi-JK, berseberangan dengan banyak teman-teman, termasuk teman-teman PKS yang ketika itu mendukung Prabowo.
Alasan saya memang semangat perubahan. Saya ingin melihat kepemimpinan yang memiliki orientasi kerakyatan.
Pemimpin yang punya kepedulian dan perhatian bahkan menjadi bagian dari kehidupan rakyat banyak.
Saat itu saya melihat sosok Jokowi yang datang dari Solo, memilki latar belakang kehidupan rakyat biasa, dapat menjadi harapan dan mewakili perasaan saya.
Apalagi beliau ketika itu didampingi oleh pak JK, yang memang saya kenal dan kagumi sejak lama. Sayangnya, perkiraan saya tentang Jokowi meleset.
Jokowi tetap nampak lugu (ndeso). Tapi kebijakan-kebijakannya justeru banyak yang melukai rakyat. Berbagai gebrakan pembangunan sangat kental berpihak kepada Oligarki, menguntungkan segelintir yang kaya.
Rakyat tetap miskin. Bahkan beberapa kasus rakyat harus menghadapi kenyataan pahit. Digusur misalnya demi hawa nafsu para Oligarki.
Yang paling mengecewakan juga adalah belakangan saya dapat informasi jika pak JK yang di saat menjadi Wakil pak SBY memainkan peranan signifikan, ternyata tidak diberi ruang.
Ada seorang Menteri yang lebih punya akses dan kekuasaan ketimbang seorang Wapres.
Maka di pilpres selanjutnya (2019) saya memutuskan mendukung dan memilih Prabowo-Sandi.
Sejujurnya saya tidak kenal banyak Prabowo kecuali sebagai seorang Jenderal, dengan sederet catatan positif dan negatinya. Tapi saya memutuskan mendukung karena kecewa dengan Jokowo.
Apalagi cawapres Jokowi ketika itu adalah Sandiaga Uno yang saat itu saya lihat punya kapasitas (pebisnis berhasil dan cukup religious).
Singkat cerita kita dan berjuta-juta rakyat Indonesia berjuang dengan keringat bahkan darah untuk memenangkan Prabowo. Tapi manipulasi dan ketidakjujuran dalam proses Pilpres memaksanya untuk menerima kekalahan itu.
Walaupun fakta menyatakan bahwa para pendukung siap membela hingga akhir hayat mereka.
Lebih 600 relawan meninggal yang hingga kini tidak pernah mendapat kepedulian Prabowo bahkan di saat sudah tenang dengan posisi Menhan.
Sebenarnya yang lebih menyedihkan dan menyakitkan bagi pendukung-pendukung prabowo ketika itu adalah kenyataan bahwa dengan entengnya Prabowo bergabung dengan pemerintahan Jokowi tanpa mempertimbangkan pengorbanan para pendukungnya.
Bergabungnya Prabowo ke pemerintahan Jokowi ini, walau dilapisi dengan lapisan indah “rekonsiliasi”, “persatuan”, “demi negara” dan banyak lagi jelas dianggap pengkhianatan.
Pengkhianatan kepada para pendukung yang mengharapkan walaupun kalah, tapi tetap menjadi lokomotif perubahan. Sekaligus pengkhianatan kepada demokrasi yang sehat. Bahwa demokrasi yang sehat memerlukan oposisi yang kuat.
Seperti yang Anies pernah sampaikan dalam debat pertama bahwa politik itu bukan sekedar kekuasaan. Tapi pengabdian dan pelayanan kepada bangsa.
Kehormatan politik ada pada kata “pengabdian” kepada bangsa dan negara. Kata yang sering diucapkan oleh Prabowo di mana-mana. Dan karenanya menjadi oposisi juga adalah bentuk pengabdian kepada negara dan demokrasi yang sesungguhnya terhormat.
Hanya saja Prabowo tidak tahan menjadi oposisi (kata Anies). Akibatnya sangat terasa bagaimana pengambilan kebijakan selama ini yang terasa semena-mena.
Alasan inilah yang saya anggap cacat karakter, dan banyak alasan yang lain, termasuk masalah wawasan, stabilitas emosi, keagamaan, kecerdasan bahkan pertimbangan umur dan kesehatan.
Juga realita bahwa hampir tdk ada di dunia ini orang yang sudah kalah dalam pertarungan berkali-kali tapi tetap maju.
Bagi saya, hal ini memiliki makna keserakahan dan nafsu besar untuk berkuasa.
Hal yang paling berat untuk menerima Prabowo adalah fakta bahwa bergabungnya dengan Jokowi sekaligus melahirkan kongkalikong keserakahan dalam kekuasaan.
Itu yang menjadikan Prabowo bergelantung di bawah ketiak Jokowi dalam pilpres ini. Puncaknya adalah pemerkosaan UU melalui MK dengan pelanggaran etika berat yang berakibat kepada dipecatnya Ketua MK, adik ipar Jokowi oleh MKMK.
Pada saat yang sama, walaupun Prabowo sadar bahwa ada pelanggaran etika, dia tetap mempertahankan Cawapresnya yang jelas hasil “eborsi politik” yang minim kapasitas dan pengalaman.