KomnasHAM di Tengah Badai Hukum

Sisi lain yang menantang datang dari keterangan orang tua salah satu almarhum di Komisi III DPR. Andai saja keterangan ini benar-benar tak tersanggah dengan fakta lain, baru yang berbeda, maka tentu saja konsekuensinya juga jelas.

Tetapi sejenak tinggal dulu soal itu. Mari bicara rule of law dulu. Dalam konteks ini, harus diakui keangkuhan sekaliber apapun, sulit untuk menyangkal peristiwa kilometer 50 ini menusuk, dan merobek-robek  kemanusiaan kita sebagai bangsa, dan sebagai manusia ber-Tuhan. Rule of law memang memungkinkan orang dihukum mati, tetapi rule of law juga mengharuskan adanya justifikasi hukuman mati itu yang rasional secara etik.

Orang yang akan dihukum mati misalnya, harus, tanpa dapat ditangguhkan, diadili secara jujur di peradilan. Tidak itu saja, orang yang akan menjalani hukuman mati itu, diberi kesempatanm untuk menyampaikan permintaan atau pesan terakhir kepada ayah, ibu, istri atau anaknya, yang  akan ditinggalkan. Begitulah adab etik rule of law. Begitulah etik rule of law menampilkan derajat penghormatannya terhadap nyawa manusia dan kemanusiaan.

Adab itu juga akan bekerja dengan cara para penembak, yang akan menembak mati terpidana, tak diberi tahu senjata mana yang telah terisi peluru. Para penembak itu tak bakal tahu bahwa senjata yang digunakannya yang mematikan terpidana mati itu. Sebab penembak itu juga manusia. Cara itu dimaksudkan untuk tak melukai rasa etik para penembak.

Komnas HAM telah bekerja. Tak usah ditawarkan aspek-aspek teknis invesitgasi dan apa yang harus didapat dalam investigasi mereka. Fakta parsial yang terekam dalam investigasi mereka, terlihat begitu meyakinkan di permukaan. Seberapa detil dan apakah setiap detilnya kredibel, masih  harus dianalisis.

Komnas HAM, harus diakui,  tak punya apa-apa. Disisi lain medan kerja mereka berada ditengah rule of law yang telah keropos. Ketidakpastian, kata lain dari dinamika politik, yang selalu dapat menghasilkan “keadaan baru yang tak tertebak,” telah menjadi ikon rule of law mutakhir. Itu tantangan terbesar Komnas HAM.

Bagaimana dan dengan apa Komnas HAM membimbing penyelidikan yang terus berlangsung ini? Komnas HAM hanya perlu membekali diri dengan keyakinan bahwa pekerjaan ini mulia dalam semua dimensinya. Jujurlah dalam semua aspek. Cukupkan saja investigasi ini dengan “jujur” sebagai jiwanya.

Ukirlah dan bungkuslah seluruh temuan dengan itu kemuliaan yang tinggi. Semoga kemanusiaan yang selalu mulia dan agung itu, terus bersinar dihari-hari esok. Tuan-tuan Komnas HAM, jujur itu benteng tertangguh di dunia dan diakhirat, begitu pesan bijak Syech Abdul Kadir Jailani.

Ungkaplah semua aspek peristiwa melayangnya enam nyawa manusia di kilometer 50 itu, dengan sejujur-jujur-jujurnya. Kaidah republik menggariskan kekuasaan hukum harus digunakan menurut kaidah rule of law. Sombong, angkuh, benci kelompok ini dan sayang kelompok itu, bukan kaidah republik dan rule of law. Selamat bekerja.

Penulis: Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum, Pakar HTN Universitas Khairun Ternate.