by M Rizal Fadillah
Putusan KPU soal kemenangan Prabowo Gibran dilawan. Pasangan Anies Muhaimin dan Ganjar Mahfud telah membawa kasus ke Mahkamah Konstitusi. Sejak awal skeptisme muncul apalagi saat itu masih bercokol Anwar Usman sebagai Ketua. Kini tanpa Usman bukan berarti kita bahagia. Majelis itu kolektif hingga peluang intervensi sangat terbuka. Jokowi tidak akan tinggal diam atau membiarkan. Bukankah moto nya kerja kerja kerja dan ngerjain ?
MK memiliki dua kunci entah mana yang akan digunakan. Kunci pertama adalah normatif bahwa kewenangan menangani sengketa hanya berbasis selisih angka. Untuk ini baik Anies maupun Ganjar akan sulit mengejar. Lambungan sukses angka 58 persen Prabowo sudah didisain sampai MK. Seperti biasa pasukan C1 hasil akan sulit mengalahkan mafia Real Count KPU.
Kunci kedua adalah MK yang siap merambah pada aspek prosedural. Mulai dari skandal Gibran, DPT palsu, Sirekap hingga Alibaba. Jika inovasi atau terobosan ini yang dilakukan maka secercah harapan muncul. Diskualifikasi bukan mustahil. Artinya Pemilu ulang. Prabowo Gibran nyungsep.
Persoalannya adalah bahwa hukum MK tidak berdiri sendiri. Majelis Hakim harus memiliki keberanian untuk tetap independen. Karenanya dukungan rakyat menjadi penting. Relawan AMIN dan GAMA harus datang berbondong-bondong mensupport MK.
Bertema “kepung MK” kehadiran jumlah orang banyak sangat membantu keberanian dan semangat juang. AMIN yang sukses di JIS harus mengulangi di MK. Harus ada penyeru dan pemberi komando. Anies Baswedan mampu mengajak kebersamaan.
Begitu juga penting seruan Ganjar Mahfud untuk relawan. Buktikan kesetiaan masih ada. Anies dan Ganjar saatnya membuktikan pula sebagai pemimpin yang berpengaruh dan berwibawa. Adem ayem tentrem sama saja dengan menjadikan ajang MK sebagai main-main dan sekedar usaha yang “without struggle and punishment”.
Jika perjuangan dilakukan dengan keras maka akan ada hasil, akan tetapi jika sekedarnya tentu akan gagal. Hukum politik berlaku demikian. Posisi KPU sebenarnya “cemen-cemen” saja akibat dosa-dosa yang menumpuk. KPU telah mendeklarasikan diri sebagai penyelenggara Pemilu terbutut di dunia.
Masalahnya KPU itu didukung oleh Negara. Kecurangan KPU didukung oleh Negara Jokowi dengan segenap perangkatnya. Bukan Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Dengan cawe-cawe dan politik dinasti Jokowi seperti orang gila yang sedang berteriak “Negara adalah aku”.
Fenomena politik bukan hanya Namrudisme, Fir’aunisme, Leninisme, Maoisme, tetapi juga Luhutisme dan Jokowisme. Negara sedang dikuasai oleh satu tangan yang bernama tirani atau oligarki. Jokowi tidak peduli dimusuhi oleh rakyatnya sendiri.
Sebelum rakyat berontak maka semua dirasakan aman-aman saja.
Kembali ke MK yang diarahkan menjadi alat tirani, oligarki atau Jokowi, maka saatnya MK membuat sejarah. MK harus berontak. Turut menggulingkan arogansi. Rakyat dituntut membantu dengan datang bergelombang. Pengaruh Megawati untuk 03 dan Anies Baswedan untuk 01 diuji untuk gelombang gelombang tersebut.
Sebaiknya Anies segera panggil alumni JIS dan Megawati serukan kader-kader. Lalu komandokan “Kepung MK !”
Tanpa gerakan rakyat, peradilan MK hanya formalitas belaka, bahkan sekedar legitimasi atas kecurangan dan kejahatan Pemilu. MK itu disiapkan untuk disain penguat. Percuma, hanya buang-buang waktu.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 26 Maret 2024