Ada yang lain dari deklarasi sebuah LSM di Surabaya. Namanya, Gerakan Hati Indonesia (GHI) yang diluncurkan di sebuah hotel di Surabaya. LSM baru ini diprakarsai oleh seorang ibu muda berjilbab bernama Yulyani, mantan anggota DPRD Kota Surabaya tahun 2004-2009 dari Partai Keadilan Sejahtera.
Buat kader dan simpatisan di Surabaya, nama Yulyani sudah menjadi bahan pembicaraan ketika pemilihan walikota Surabaya mulai digaungkan KPU setempat. Hal ini karena Yulyani terpilih menjadi bakal calon kuat walikota Surabaya pilihan internal kader PKS yang bertanding pada awal Juni mendatang.
Sebenarnya, ada dua nama yang akhirnya mengerucut dari sepuluh orang kader dan simpatisan yang masuk dalam bursa internal. Dua nama itu adalah Yulyani dan Hamy Wahyunianto, simpatisan PKS yang pernah menjadi Dirut Yayasan Dana Sosial Al Falah.
Hasil pemilihan internal itu akhirnya dibawa Dewan Pimpinan Daerah PKS Surabaya untuk diputuskan di tingkat DPW PKS Jatim. Penantian keputusan akhir itu, seolah tak begitu berarti karena Yulyani terus-menerus menjadi pembicaraan di bursa pilwali Surabaya, baik oleh pejabat struktur PKS, maupun kader dan simpatisan.
Persoalan menjadi mulai buram ketika posisi PKS berada di persimpangan jalan. Pasalnya, Fandi Utomo, seorang pengusaha dan mantan dosen yang juga kader loyalis Partai Demokrat tidak dijagokan partainya untuk maju ke pilwali Surabaya. Padahal, kemungkinan besar, PKS sudah memposisikan Fandi Utomo dan Yulyani sebagai pasangan ideal di pilwali Surabaya.
Demokrat akhirnya lebih memilih Arif Afandi yang saat ini menjabat wakil walikota Surabaya. Sementara, Arif Afandi sendiri lebih memilih Adies Kadir dari Partai Golkar untuk mendampinginya di pilwali.
Padahal dari sudut hitung-hitungan PKS, kalau Fandi Utomo yang diketahui publik sangat loyal dengan SBY dijagokan Partai Demokrat, maka cukup sudah syarat kecukupan modal suara untuk maju ke pilwali.
Dari hitung-hitungan di atas kertas, Partai Demokrat di pemilu lalu memperoleh 31,30 persen suara, urutan kedua PDIP yang memperoleh 18,97 persen, dan PKS di urut ketiga dengan perolehan 6,56 persen. Sementara PKB dan PDS memperoleh 6,45 persen dan 5,52 persen. Kalau Demokrat dan PKS gabung, maka bisa dipastikan modal suara yang dikantongi calon ini tergolong mayoritas, sekitar 37 persen.
Sementara itu, PDIP dan PKB punya calon sendiri dan sulit gabung dengan PKS yang sama-sama menjagokan calonnya di posisi nomor satu di pilwali. Sementara untuk maju sendiri, PKS tidak cukup modal suara.
Akhirnya, PKS berkoalisi dengan PDS yang juga didukung PPP dan PKNU. Hasil gabungan ini sudah bisa menjadi syarat kecukupan modal suara di pilwali. Menariknya, entah dengan pertimbangan apa, PKS lebih menjagokan kader Demokrat yang sangat loyalis dengan SBY sebagai calon nomor satu ketimbang kadernya sendiri.
Kesempatan koalisi ini, tentu tidak disia-siakan PDS. Partai yang berlogo salib ungu ini menjagokan Letkol Marinir Julius Bustom sebagai calon orang nomor dua di pilwali.
Keputusan koalisi pilwali PKS dan PDS ini sekaligus memupus nama ibu Yulyani yang merupakan hasil pilihan kader PKS. Satu hal yang menguntungkan Demokrat, siapa pun yang menang dari dua calon nanti (Demokrat dan PKS), yang tampil adalah kader Demokrat sendiri.
Di acara deklarasi Gerakan Hati Indonesia itu, Yulyani mengungkapkan bahwa ia tidak kecewa apalagi sakit hati. Tapi, ia mengaku telah mengorbankan segala aktivitasnya di dunia bisnis, keluarga dan sosial hanya untuk mengikuti apa yang menjadi komitmen partai.
”Mungkin ini bagian dari skenario Allah, sehingga saya bisa mendirikan GHI,” ucap Yulyani tetap semangat. (mnh/berbagai sumber)