Maka ketika pantauan Bawaslu tidak mampu menjangkau, para millenials itu memiliki caranya sendiri. Para pemuda pun memulai episode pengawasan para calon wakil rakyat oleh rakyatnya sendiri. Akibatnya peristiwa politik amplop Darmadi terekam jelas oleh mereka dan menyebar luas di Wa.
Ini adalah jaman dimana informasi dapat diakses dengan instant dan transparan. Semua serba kelihatan dan kadang sangat telanjang. Jadi betapa memalukan jika ada orang yg sehari2 berkata soal Kebangsaan tapi kelakuannya malah Kebangsatan.
Pemimpin yg dicintai rakyatnya itu terlihat dari bagaimana keikhlasan masyarakat menyayanginya. Lihat Sandiaga. Sokongan tulus dari rakyat berdatangan tiap kali ia turun ke pelosok2. Betapa terlihat rakyatlah yg menginginkan Sandiaga jadi pemimpin mereka.
Maka tak heran, dari level juragan sampai petani dan pedagang kecil di pasar, rela berdesakan mendekat hanya agar bisa mengulurkan segenggam uang kepada Sandiaga. Bukan Sandiaga yg memberikan amplop dan membeli suara mereka.
Rakyat jelata itu memberikan sumbangan kepada calon pemimpinnya, karena percaya ia kelak akan memperjuangkan nasib mereka. Mirip rakyat Indonesia dulu yg mengumpulkan sumbangan harta bendanya di jaman Belanda. Masyarakat serahkan sebagian kekayaan kepada para tokoh sebagai dana perjuangan, karena tahu bahwa para pahlawan itulah yg akan membebaskan mereka dari belenggu penjajah yg nista.
Jadi jangan bohongi Millenials dengan omong kosong anti korupsi, janji memperjuangkan keadilan, janji membela suara rakyat, bela NKRI sampai mati dan kalimat2 tanpa makna lainnya.
Para pemuda itu sudah mau muntah. Mereka sangat paham siapa yg intoleran dan siapa radikal sesungguhnya. Mereka akan tagih janji. Mereka tagih bukti, karena benci omong kosong yg terlalu tinggi. (kk/swamedium)
*Penulis: Agi Betha, adalah wartawan senior