Tapi sayangnya, semua kemudahan dan fasilitas itu semakin meninggalkan gaya bertutur maupun tutorial dari cerita dan dongeng anak-anak yang sejatinya mengandung hikmah berisi tentang makna hubungan dan interaksi sosial, penghayatan terhadap alam sekitar dan sesama mahkluk bernyawa serta banyak lagi pelajaran hidup lainnya. Boleh jadi generasi sekarang memang tak bisa terhindarkan dari semacam adagium, bahwasanya tiap anak ada jamannya dan tiap jaman ada anaknya. Atau mungkin saja telah terjadi pergeseran orientasi terhadap proses pendidikan anak. Terutama dari keluarga, lingkungan rumah dan sekolah, yang menempatkan kemampuan literasi dan belajar mengembangkan imajinasi sejak dini. Melalui dunia penalaran dan eksplorasi fiksi, sudah tak relevan, tak penting dan tak dibutuhkan lagi. Malah telah dianggap usang dan kuno.
Sepertinya, situasi dan kondisi demikian itu melahirkan generasi sekarang menjadi terbiasa dengan yang praktis dan instan. Logika yang terbentuk banyak mengadosi kecenderungan serba kalkulasi dan hitung-hitungan. Menjadi sangat pragmatis dan transaksional. Semua diukur dengan seberapa besar harga dan keuntungannya, bukan seberapa penting nilai atau valuenya. Pada akhirnya cenderung menjadi generasi yang “profit oriented” semata dan anti sosial. Fenomena itu menyeruak ketika menjamurnya youtubers, tiktokers, gamers dll. di dunia internet. Anak muda terus larut mengejar pundi-pundi ekonomi melalui tayangan mengejar viewer dan subscriber. Pergaulan sosial telah dibatasi dengan off line dan on line, demi efisiensi dan efektifitas waktu, jarak, tenaga dan tentu saja secara finansial.